Lectio Divina, the diligent reading of Sacred Scripture accompanied by prayer brings about that intimate dialogue in which the person reading hears God who is speaking, and in praying, responds to him with trusting openness of heart.(cf.Dei Verbum, 25)

Kardinal Tauran "End of Tolerance, Then Love!"


Yogyakarta. Senin, 30 November 2009. Setelah melakukan lawatannya ke Bali, Kardinal Jean Luis Tauran, Presiden PCID (Pontifical Council for Inter-Religious Dialog) Vatikan, melakukan lawatannya ke Yogyakarta. Pada Senin pagi hari, Kardinal Tauran memberikan Studium Generale (Kuliah Umun) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Studium Generale diadakan di Aula Hotel University, UIN Yogyakarta.  

Sesuai dengan jadwal, Kardinal Tauran dan rombongan tiba di Hotel University pada jam 09.15. Ia datang bersama dengan Nuntius (Duta Besar) Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli, Mgr. J. Pujasumarta, Rm. Pius Riana Prabdi, Pr (Administrator Diosesan KAS), Rm.  Al. Budi Purnomo (Komisi HAK KAS), Rm. Benny Susetyo, Pr, Rm. B.S. Mardiatmadja, SJ, dan rombongan yang lain. Kedatangan beliau disambut oleh Rektor UIN, Prof. Dr. Amin Abdullah, bersama jajaran staf UIN Yogyakarta. Studium Generale sendiri diikuti oleh para dosen UIN, tokoh-tokoh agama, dan mahasiswa dari beberapa Universitas di kota Yogyakarta. Dalam suasana ruangan yang nyaman, Studium Generale tersebut diikuti sekitar 70 orang. 

Merayakan Perbedaan 
Acara dimulai dengan Pidato Rektor UIN, Bapak Amin Abdullah. Ia menyampaikan makalah berjudul “Celebrating Differences Through Dialogue in Indonesia: The Significant of Understanding Religions Today”. Ia mengatakan bahwa Indonesia, yang hidup dalam keanekaragaman, adalah negara yang pluralis dan Pancasila. Baginya, Indonesia yang dihuni mayoritas orang Muslim, bukanlah negara Islam. Indonesia adalah negara Pancasila. Dibawah prinsip-prinsip Pancasila ini, agama-agama dan kebudayaan di Indonesia dapat hidup dalam sebuah harmoni. Indonesia adalah sebuah model harmoni bagi dunia. Dalam situasi plural ini, sebuah dialog tak mungkin dihindari. Mengutip pendapat Prof. Dr. H. Mukti Ali, ia mengatakan bahwa dialog didasarkan pada konsep “agree in disagreement”. Maka, di zaman ini, agama bukan lagi sebuah “pulau yang dapat berdiri sendiri” (no religion is an island). 

Dari Toleransi Menuju Cinta 
Paparan dari Pak Amin Abdullah diteruskan dengan Studium Generale dari Kardinal Tauran. Setuju dengan Paul Tillich, Kardinal menyatakan bahwa hal paling substansial dari kebudayaan adalah agama. Dunia tak bisa dipahami tanpa agama. Dalam keragaman agama di dunia ini, sebuah dialog sangat diperlukan. Dialog sendiri berarti penyelidikan untuk kesepahaman satu dengan yang lain dalam cara pandang memenuhi panggilan sebagai manusia. Dialog tersebut didasari oleh bahasa yang umum, kerendahan hati dan perhatian untuk memahami orang lain. Dialog inter-religius bukan hanya menjadi baik bagi yang lain, atau bernegosiasi, seperti dalam politik. Dialog adalah sebuah keberanian mengambil resiko untuk dipertanyakan oleh orang lain. Dengan dialog, identitas akan menjadi semakin nampak karena bertemu dengan “yang lain”. Maka, sebenarnya dialog agama adalah dialog di antara umat beragama (believers). Kata ‘dialog’ sendiri berasal dari dia- dan logos, yakni menerima keyakinan orang lain, dan dipertemukan dengan keyakinan diri sendiri. Dalam dialog tersebut kita akan diperkaya sekaligus dimampukan untuk melihat kembali bagaimana kita bisa saling memahami. Dengan demikian agama memberi kontribusi pada kemanusiaan.

Dalam kesempatan itu pula, Kardinal menegaskan tiga tujuan dari PCID, yakni pertama, untuk memajukan saling pengertian, saling hormat, dan kerjasama umat Katolik dengan umat beragama lain. Hal ini penting sebab ketakutan dan praduga antar umat beragama berasal dari kurangnya pengetahuan akan agama yang lain. Kardinal memberi contoh bahwa kedatangan imigran Islam ke Eropa membuat orang Eropa takut kepada Islam. Kedua, PCID mendorong studi dan penelitian agama-agama di dunia. Hal ini muncul ketika orang mempelajari buku-buku fundamental bagi agama-agama. Ketiga, PCID mendorong adanya pendidikan bagi mereka yang bekerja untuk memajukan dialog. Ia menyatakan bahwa pelaku dialog adalah umat beragama sendiri. Maka, dialog tidak terjadi di Vatikan, melainkan di setiap tempat termasuk di Indonesia.
Jalan bagi terbukanya dialog adalah dengan mempelajari secara serius pewahyuan dalam tradisi agama-agama, sebagaimana juga diyakini Paus Benediktus XVI. Dialog bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sudah menjadi keberadaan dalam hidup kita. Manusia pada hakekatnya adalah insan dialog. Dialog ada demi kemanusiaan itu sendiri. Dalam Nostra Aetate, Gereja Katolik menegaskan bahwa ia tidak pernah menolak yang Kudus dalam tradisi agama-agama lain. Islam dan Kristiani menghormati keesaan Allah. Demikian juga dalam Redemptoris Missio yang dikeluarkan oleh Yohanes Paulus II. Dialog inter-religius bukan berasal dari traktat doktrin agama-agama, melainkan merupakan tuntutan dari rasa hormat yang mendalam atas segala sesuatu yang ada pada umat manusia, yang berasal dari Roh Allah.

Dalam dialog, ia menolak kata toleransi. Ia berpandangan bahwa sebagai umat beragama, kita semua bagaikan satu keluarga. Di antara saudara-saudari dalam satu keluarga, kita tidak hanya bertoleransi, melainkan mencintai. Maka, kita perlu mengakhiri penggunaan toleransi dan mengubahnya dengan cinta. Dengan kata ini maka munculah empat jalan dialog. Pertama, dialog kasih (dialog of love), yakni relasi bertetangga yang baik, berbagi kebahagiaan dan kesukaran hidup dan sebagainya. Selain itu juga dialog tindakan (dialog of action), terutama dalam bekerjasama mengatasi masalah-masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan, penyakit dan sebagainya. Kemudian dialog teologis (dialog of theolgical exchanges), sejauh itu mungkin. Dan terakhir adalah dialog spiritualitas (dialog of spirituality). Dialog yang demikian akan menyadarkan bahwa agama satu dengan yang lain itu berbeda. Meski demikian, serentak kita juga disadarkan bahwa setiap umat beragama (believers) mempunyai kesamaan martabat. Dialog inter-religius juga tidak hanya ada secara internal agama itu sendiri. Dialog inter-religius dapat berpartisipasi pada dialog publik (public dialog), dalam soal sosial dan politik.

Dalam konteks Indonesia, ia amat menghargai Pancasila. Pancasila menjadi prinsip yang memungkinkan bangsa ini berjalan bersama dalam keadaan yang begitu plural. Ia menyatakan kekagumannya pada keragaman budaya, adat dan agama yang ada di Indonesia. Untuk itu, ia menyarankan agar para pemimpin agama selalu mendorong umatnya untuk menumbuhkan sikap dialog. Dan untuk sampai pada tataran akar rumput, sekolah dan universitas memegang peranan amat penting.

Ia menegaskan pula bahwa Islam dan Kristen akan saling menyumbang satu dengan yang lain karena berdiri pada dua hal yang sama. Pertama, keduanya percaya bahwa hanya Tuhan-lah yang patut disembah. Maka kita dapat melihat bahwa segala berhala buatan manusia, yang pada zaman ini terungkap dalam materialisme, konsumerisme, sekularisme dan bahkan perkembangan sains, dapat membahayakan kemanusiaan itu sendiri. Kedua, dalam Tuhan, setiap orang mempunyai martabat yang sama. Dalam hal ini, dengan filosofi Pancasila, setiap warga negara Indonesia, mempunyai hak dan kehidupan yang sama.

Sesudah Kardinal memberikan kuliah umum ini, tiga orang memberikan pertanyaan kepada beliau. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara amat bijaksana (agak diplomatis). Intinya, ia menyatakan bahwa dialog antar agama merupakan sebuah tantangan untuk memberikan kontribusi pada kemanusiaan. 55% penduduk dunia ini adalah orang Kristiani dan Muslim. Tentu jumlah yang besar ini memberi peluang dan harapan bagi terciptanya kebaikan bersama dan kedamaian dunia. Keragaman merupakan sebuah kenyataan yang memberikan harapan (profess of hope), hadiah yang luar biasa. Dalam cinta, agama-agama mesti berpelukan satu dengan yang lain. Demikian pula dalam menghadapi tantangan fundamentalisme dan poilitisasi agama. Pendidikan mempunyai peran amat penting, terutama dalam hal mengajarkan unsur kesejarahan religius dari agama-agama. Fundamentalisme merupakan faham yang kehilangan faktor kesejarahan ini, sehingga juga kehilangan tujuan mulia dari adanya agama-agama.

Di akhir kuliah umum ini, Kardinal mengaskan kepada wartawan bahwa dialog inter-religius didasarkan pada rasa hormat (respect) pada keyakinan orang lain, keyakinan (fidelity) mendalam atas iman sendiri dan hubungan timbal balik (reciprocity) satu dengan yang lain. (DS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar