Lectio Divina, the diligent reading of Sacred Scripture accompanied by prayer brings about that intimate dialogue in which the person reading hears God who is speaking, and in praying, responds to him with trusting openness of heart.(cf.Dei Verbum, 25)

Tanggungjawab Publik Keluarga Kristiani Modern


Oleh: D. Sukristiono
Pada tahun 1961 Hilderd Geertz meneliti keluarga “Jawa” dan menemukan bahwa orang Jawa memandang bahwa stratifikasi masyarakat disusun berdasarkan tingkatan/hirarki persaudaraan darah. Suatu kampung bisa jadi hanya merupakan satu keluarga besar dengan strata tingkat hubungan darah: kakek (mbah/eyang), orang tua (bapak/ibu/pak-lik/bu-lik/pak-dhe/bu-dhe), saudara-saudara (mas/kang/mbakyu/adhik), anak (nak/ndhuk/le) dan cucu. Sebuah keluarga inti (nuclear family) tak bisa dipisahkan keterikatannya dengan keluarga besar. Etika di dalam keluarga juga menjadi etika sosial, yakni ditentukan oleh urmat atau aji. Bahasa krama di dalam keluarga tak terpisahkan dari krama dalam hidup sosial[1]. Dengan cara ini, orang Jawa akan dengan mudah memandang kolektifitas sosial (kampung, masyarakat, organisasi, bangsa dan seluruh dunia) sebagai satu keluarga dengan satu etika. Struktur di dalam keluarga tak lain adalah representasi kontestasi struktur sosial di luar keluarga itu.
Sifat representatif ini tak hanya ada dalam keluarga Jawa. Saya Sasaki Shiraishi, mengatakan bahwa sistem politik kekeluargaan Orde Baru tak lain juga hanya pancaran dari sistem keluarga (di) Indonesia, khususnya Jawa. Suharto adalah Bapak (Presiden, Pembangunan, dan seterusnya); Tien adalah Ibu; para bawahan adalah anak; dan rakyat seluruhnya bergabung dalam sebuah famili bernama keluarga Indonesia. Sesuai dengan hirarki dalam keluarga Jawa, adalah kuwalat kalau anak melawan Bapak, rakyat melawan penguasa[2]. Dalam hal ini, sifat representatif berubah menjadi sebuah pengaruh yang kuat, antara dua hal: keluarga dengan masyarakat.
Sekarang, apa jadinya dengan keluarga ketika masyarakat digerakkan oleh nilai-nilai pasar? Individuasi keluarga, peranan uang, ekonomisasi cinta, peran orang tua dan sebagainya adalah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh keluarga modern zaman ini. Apakah agama-agama, khususnya Kristiani, mempunyai kepentingan terhadap keluarga-keluarga (kristiani)? Apakah agama-agama dapat juga berperan bagi kelangsungan keluarga-keluarga (kristiani) di tengah arus modernitas? Tulisan ini hendak secara khusus berbicara mengenai teologi keluarga kristiani dalam dunia modern, terutama menjawab persoalan hubungan antara keluarga sebagai sebuah institusi dengan masyarakat modern, peran keluarga kristiani bagi kristianitas itu sendiri dan peran kristianitas bagi kelangsungan keluarga kristiani modern. Untuk itu, kita membutuhkan sebuah cara bicara yang dapat menghubungkan antara persoalan keluarga kristiani dengan masyarakat modern. Cara bicara yang diusulkan adalah teori tindakan komunikatif, yang telah dikembangkan dalam diskursus modern teologi publik.

1.        Bahtera yang telah karam: krisis keluarga (kristiani) modern
Persoalannya adalah bagaimana kita memandang masyarakat kita zaman ini atau siapakah masyarakat kita sekarang ini. Modernisasi, industrialisasi dan pasar bebas adalah buah dari akar yang kuat dalam tradisi modernitas yakni individualisme. Individualisme bukan sekedar sikap orang per orang yang mementingkan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain. Individualisme adalah sebuah teori sosial, yang menyatakan bahwa tatanan masyarakat diatur berdasarkan kolaborasi spontan antar individu dengan segala kebebasan, tata nilai dan kepentingan yang ia miliki. Setiap orang wajib menghargai keberadaan orang lain dan ‘membiarkan’ dia menggunakan apa yang ada padanya sesuai kebebasan yang ia miliki.
Tatanan sosial individualistik ini tersebar secara luas dan cepat ke seluruh penjuru dunia dan secara mendalam dalam penalaran setiap orang. Ekonomi (sistem pasar) adalah lahan subur di mana individualisme memainkan peranannya dengan amat sangat kuat. Dalam ekonomi pasar bebas, kebebasan individu yang spontan membentuk tatanan dunia global yang sama. Maka, globalisasi, ekonomi pasar dan individualisme adalah trio macan fenomena sosial zaman ini[3].
Fenomena keluarga zaman ini dipengaruhi oleh individualisme dan sistem ekonomi pasar. Akibatnya, keluarga modern mengalami krisis baik dalam pandangan mengenai keluarga, maupun dalam praktek berkeluarga. Hal ini terlihat antara lain dalam[4]:
·         Lemahnya komitmen. Kalau masyarakat digerakkan oleh ekonomi dan individualisme, maka keluarga pun akan melakukan hal yang kurang lebih sama. Pergeseran-pergeseran akan cara pandang keluarga pun akan terjadi. Dalam individualisme, karena kebebasan adalah tidak ada ikatan yang mengekang, maka ikatan suami istri pun dengan mudah diputuskan. Perceraian adalah fenomen yang amat sangat mudah terjadi.
·         Lemahnya pengaruh keluarga bagi pendidikan anak. Imbas dari lemahnya komitmen adalah pendidikan anak yang terbengkelai. Keluarga kehilangan perannya sebagai agen yang mempengaruhi pendidikan anak. Bahkan anak menganggap orang tua mereka adalah “bunda handphone” dan “papa internet”.
·         Struktur kuasa antara suami dengan istri. Fenomena penghargaan terhadap kebebasan individu juga terlihat dalam persoalan kesetaraan peran (kuasa) antara suami dengan istri (persoalan gender – etika feminis). Ibu bukan lagi ibu rumah tangga, yang tugasnya menyusui dan memasak. Ibu punya hak untuk menjadi wanita karir yang bisa bekerja di kantor dari pagi sampai sore.
·         Paradigma uang dan ekonomi. Kesejahteraan keluarga adalah tujuan utama keluarga zaman ini. Uang menjadi bahan bakar utama keluarga. Faktor ekonomi adalah paradigma yang harus ditaati oleh setiap anggota keluarga. Keluarga seakan-akan menjadi wadah tersendiri yang harus berjuang memenuhi kesejahteraan (ekonomi) anggota keluarga. Bahkan cinta ibu akan anak adalah resources yang mempunyai nilai jual[5].
·         Egoisme dan deagamisasi keluarga[6]. Keluarga adalah urusan orang per orang, atau setidaknya dua orang itu saja. Institusi sosial (agama dan negara) tak banyak lagi berhak mengatur komitmen dua orang suami – istri. Keluarga mudah terkoyak dan karam oleh arus paradima pasar. Singkatnya keluarga modern bagaikan bahtera yang telah karam dalam samudera ekonomi pasar.

Apa yang disebutkan di atas terjadi pada keluarga-keluarga kristiani. Melihat fenomena di atas, Lisa Sowle Cahill menyatakan bahwa ada dua reaksi terhadap individuasi keluarga. Reaksi pertama melihat bahwa hal itu merupakan imbas dari hancurnya moralitas keluarga-keluarga modern. Sifat perkawinan yang monogam, penuh komitmen dan sebagainya tidak lagi diperhatikan. Reaksi yang kedua menyatakan bahwa hal-hal itu merupakan bentuk pembebasan dari cara pandang keluarga patriarkal. Namun, Cahill melihat bahwa dua reaksi itu muncul dari cara pandang yang sama tentang keluarga. Keluarga seringkali dipahami jalinan sosio-ekonomi dan ketergantungan reproduktif yang organis dengan dukungan keluarga biologis dan perkawinan[7]. Perkawinan adalah konsensus (atau kontrak) yang mempersatukan keluarga (biologis) demi tujuan reproduksi dan menjaga keturunan melalui pengaturan relasi sosial dan ekonomi. Apa yang sering disebut sebagai keluarga inti (nuclear family) adalah sepasang suami-istri dan anak-anak yang didasari oleh perkawinan. Keluarga adalah sebuah relasi eksklusif yang dilegitimasi oleh perkawinan. Maka, cara pandang ini masih dalam pusaran yang sama yakni individuasi keluarga.
Pertanyaaanya adalah bagaimana kita (orang kristiani) memandang keluarga, di tengah-tengah pertarungan berbagai penalaran akan keluarga di tengah masyarakat? Bagaimana iman kristiani relevan (berbobot) bagi keluarga kristiani di tengah masyarakat modern, dan bagaimana iman kristiani berbicara di tengah ruang publik dengan berbagai penalaran yang mempengaruhi keluarga?

2.        Teologi Publik: Moral Keluarga Kristiani
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas harus kita jawab. Secara singkat rumusan pertanyaannya: bagaimana berteologi tentang keluarga secara publik di era modern dengan melibatkan kemerdekaan dan penalaran orang lain. Teologi tentang keluarga kristiani tidak cukup hanya mengatur bahwa sebuah keluarga itu dibangun berdasar konsensus, bersifat monogam dan tak terceraikan. Berhadapan dengan fenomen individualitas personal, individuasi keluarga dan masyarakat, kita mesti melangkah lebih jauh. Cara kita memandang terhadap keluarga harus keluar dari kriteria-kriteria yang telah kita pakai terhadap keluarga itu sendiri. Dengan kata lain, kritik atas kriteria-kriteria keluarga (teori kritis!) harus kita gunakan dalam melihat bobot kristianitas keluarga kristiani zaman ini. Dengan cara ini, harapannya teologi keluarga kristiani sambung dengan penalaran modern tentang gender, paradigma ekonomi dan orientasi seksualitas.
Dalam cara pandang itu, kita dapat memakai pandangan Lisa Sowle Cahill. Ia  menyatakan bahwa: “In my view, the Christian family is not the nuclear family focused inward on the welfare of its own members but the socially transformative family that seeks to make the Christian moral ideal of love of neighbor part of the common good”[8]. Keluarga kristiani bukan sebagai keluarga inti yang hanya memfokuskan diri pada kesejahteraan anggota-anggotanya (bonum conjugum, bonum prolis) namun sebuah keluarga yang secara sosial mentransformasi masyarakat sedemikian sehingga kasih kepada sesama terpancar dalam kebaikan bersama (bonum communae).
Maka, tanggungjawab dan kesetiaan dalam keluarga kristiani mesti ada bersama dengan tindakan sosial yang altruistik, sehingga keluarga diberdayakan (empowered) untuk berpartisipasi dalam kebaikan bersama masyarakat. Melalui keluarga kristiani, laki-laki dan perempuan menjadi setara dalam berpartisipasi (berkuasa), baik di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal ekonomi. Dengan cara pandang ini, terjadilah sebuah diskursus antara moral keluarga kristiani (kesetiaan, kesejahteraan anggota keluarga) dengan moralitas modern (kesetaraan laki-laki dan perempuan, kebaikan bersama). Singkatnya, dalam moralitas keluarga kristiani modern kita menemukan faktisitas bahwa kita menawarkan kebaikan bersama dengan memberikan kebaikan bersama, dalam dan melalui tanggungjawab publik keluarga kristiani.
Keyakinan ini bukan tanpa dasar. Keberadaan manusia, baik dari sudut pandang religius maupun sekular tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia yang lainnya. Dalam situasi masyarakat yang terindividuasi, individu-individu itu membuat sebuah jejaring sosial dalam berbagai bentuk. Ada-bentuk-bentuk lama yang masih bertahan, misalnya jejaring berdasarkan agama atau keluarga (biologis) besar. Namun, ada pula bentuk-bentuk baru yang muncul, misalnya kelompok pecinta lingkungan hidup (Greenpeace), kelompok Palang Merah Internasional, atau kelompok Jamaah Islamiyah yang menjadi teror bagi kebanyakan orang. Kerinduan setiap orang untuk berjejaring satu dengan yang lain ini pula yang ‘melanggengkan’ ikatan sosial bernama keluarga. Meski praktek dan cara pandang mengenai keluarga modern mengalami krisis, namun orang yang menikah tidak pernah berhenti setiap tahun.
Meski demikian, kejahatan (yang dalam bahasa religius disebut dosa) selalu bertengger dalam diri setiap orang. Kejahatan itu semakin menjadi efektif ketika masuk ke dalam kolektifitas kelompok sehingga dapat mempengaruhi perkembangan setiap orang dalam kelompok tersebut. Begitu juga sebaliknya. Pengaruh baik yang ada dalam diri setiap orang juga dapat meresap ke dalam kebersamaan. Dalam hal ini, kristianitas, yang dihayati oleh setiap individu kristen (dan keluarga kristiani) mendapatkan tempatnya untuk berkontestasi dalam jejaring sosial yang ada.
Dalam jejaring sosial ini, Kristianitas sendiri menyediakan berbagai tradisi yang menkombinasikan unsur duniawi dengan warta injil. Inkarnasi injil ke dalam peristiwa manusiawi semestinya membuat tradisi kristiani mudah ditangkap oleh manusia pada umumnya. Tradisi moral kristiani dibangun berdasarkan proses pencarian warta injili di tengah-tengah kebudayaan manusiawi yang berkembang. Di era modern ini, keprihatinan gender, kelas dan ras (yang terkait erat dengan persoalan institusi sekular) mestinya juga dengan mudah dipahami dalam terang nalar injili. Dengan kata lain, pertanyaan kita adalah bagaimana mewujudkan kerajaan Allah di dalam masyarakat manusia, yang merangkul segala tetangga, orang asing dan musuh-musuh ke dalam sebuah keluarga dari saudara dan saudari dalam Kristus.
Ketika kita berbicara tentang keluarga kristiani, kita juga bersangkut paut dengan tradisi keluarga krisitiani, yang dibangun berdasar konsensus dan bersifat monogam serta tak terceraikan. Namun, ketika kita berbicara tentang tradisi, kita tidak berbicara tentang pokok-pokok teologis yang diteruskan, melainkan berbicara penerusan penalaran dari generasi ke generasi[9]. Dalam keluarga kristiani, penalaran yang diteruskan adalah bagaimana keluarga kristiani harus hidup di tengah masyarakat modern sehingga keluarga kristiani. Kita perlu menggalinya lebih dalam.

a.      Perjanjian Baru, Yohanes Krisostomus, Luther dan Calvin (Puritan)
Lisa Sowle Cahill menyelidiki ajaran Perjanjian Baru dan tiga orang tersebut (Yohanes Krisostomus, Luther dan Calvin) mengenai keluarga. Secara umum, ajaran itu menyebut tentang peran keluarga dalam medan publik. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus menyebut “keluarga” sebagai sebuah bentuk yang inklusif. “Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: ‘Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’” (Mat. 12: 49-50).
Yohanes Krisostomus menyebut bahwa keluarga berperan di dalam pelayanan kepada mereka yang miskin. Lebih dari itu, ia memimpikan bahwa Kristianitas di dalam keluarga-keluarga kristiani akan mempunyai peran yang amat kuat bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan[10]. Sementara itu, kaum Puritan/Calvinis menyebut bahwa keluarga Kristiani secara aktif hadir untuk membarui institusi masyarakat dan pemerintahan. Sedangkan Luther menyebut bahwa keluarga Kristiani bertugas untuk menumbuhkan cinta kristiani di dalam keluarga.
Dari tradisi ini, kaitan antara keluarga dengan masyarakat tidak dapat dilepaskan. Keluarga dan masyarakat saling membentuk dan mempengaruhi. Nilai-nilai kristiani mestinya diteruskan ke dalam kehidupan masyarakat melalui keluarga-keluarga kristiani.

b.       Ajaran Katolik Modern tentang Keluarga
Cara berpikir tentang tradisi keluarga kristiani di atas diteruskan ke dalam berbagai ajaran Gereja tentang Keluarga. Bagaimana Gereja bersuara tentang keluarga ketika berhadapan dengan individualisme, tuntutan kesetaraan laki-laki dan perempuan, industrialisasi, serta etika pasar bebas yang melanda masyarakat kita? Salah satu istilah yang memegang peranan penting adalah “domestic church”. Dalam Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa keluarga dipanggil menjadi sebuah “gereja” demi mendorong partisipasi semakin banyak keluarga bagi hidup menggereja, membantu perkembangan hidup doa dan katekese di dalam rumah, dan mendorong dedikasi keluarga bagi kebaikan bersama. Dalam hal ini, yang dipikirkan oleh ensiklik adalah bahwa misi sosial keluarga berasal identitasnya sebagai orang Kristiani dan karena tanggungjawab atas kebaikan bersama itu berasal koderatnya sebagai manusia. Domestic church ini ditujukan pada tanggungjawab keluarga kristiani atas keadilan ekonomi dan keadilan gender.
Pandangan bahwa domestic church itu berkaitan dengan keadilan ekonomi dan persoalan gender dipengaruhi oleh cara pikir modern tentang nilai seorang individu dan kebebasannya. Nilai individualitas dan kebebasan individu ini, seperti dikatakan di atas, mempengaruhi pemikiran tentang keadilan ekonomi dan kesetaraan gender (problem feminisme). Apa yang dipikirkan di dalam Familiaris Consortio, senada dengan apa yang dipikirkan di dalam dokumen-dokumen lain, misalnya: Rerum Novarum (tentang kondisi pekerja, termasuk pekerja wanita), Populorum Progressio (tentang solidaritas kepada mereka yang miskin), Piagam bagi Keluarga Kristiani, dan sebagainya.

3.        Diskursus keluarga kristiani – masyarakat modern
Apa yang diutarakan dalam ajaran Gereja di atas masih diberi catatan kritis. Pikiran Gereja mengenai Keluarga di tengah dunia modern masih dinilai oleh Cahill “tended to adopt a top-down approach to social change[11]. Penalaran yang digunakan menempatkan orang miskin dan perempuan sebagai obyek yang harus dibebaskan. Diskursus keluarga kristiani dan masyarakat modern sesungguhnya baru terjadi ketika empower recipients to become full participants in society and the common good[12]. Dalam dunia modern yang individualistik, memarginalkan orang miskin, dan jauh dari sikap setia seorang dengan yang lain, keluarga kristiani bertanggungjawab untuk berjuang di tengah-tengahnya. Demikian pula, keluarga-keluarga kristiani juga berjuang dalam alam kesetaraan yang didesakkan oleh alam pikir masyarakat modern. Dengan cara ini, kebaikan bersama (common good) membutuhkan kesalingtergantungan (interdependence) satu orang dengan yang lain, satu keluarga dengan keluarga lain, masyarakat dengan keluarga-keluarga, keluarga dengan masyarakat, sehingga setiap orang terlibat dan berpartisipasi. Kata kunci untuk cara pikir diskursif antara keluarga dengan kebaikan bersama ini adalah “solidaritas”. “Domestic church” adalah metafor untuk mengatakan bahwa keluarga mempunyai hak dan kewajiban untuk mendidik anggota-anggotanya dalam spiritualitas Kristiani, yang di dalamnya termasuk pertanggungjawaban publik atas kebaikan sesama. “Domestic church” dibangun atas dasar semangat solidaritas.
Cara bernalar di atas, (menurut hemat penulis) adalah cara bernalar diskursif di mana terjadi pembicaraan antara nalar modernitas dengan nalar kristiani tentang keluarga. Teologi keluarga membutuhkan teori kritis dan teori tindakan komunikatif, demi tanggungjawab publik keluarga kristiani dalam dunia. Demikian juga, dunia memberikan penalaran etisnya mengenai nilai individu, kesetaraan martabat dan peran laki-laki dan perempuan. Keluarga kristiani menjadi semacam ‘agen’ bagi perubahan sosial demi kebaikan bersama (common good) sebuah masyarakat, bangsa dan seluruh dunia.
Sebuah contoh konkret dari diskursus ini adalah persoalan ekonomi keluarga Indonesia. Ketika ekonomi negara berkembang (Indonesia) diobok-obok oleh sistem ekonomi pasar bebas, Ch. Melchers, S.J., Direktur Yayasan Purba Danarta, Semarang, menyatakan bahwa unit ekonomi terkecil, yakni keluarga, memerlukan kestabilan jangka panjang untuk berhasil, berkembang dan memberi kontribusi kepada pembangunan nasional. Keberhasilan unit ekonomi kecil akan memungkinkan berjalannya pendidikan anak, ketahanan sosial dan kesejahteraan. Masyarakat/bangsa membutuhkan keluarga. Meski demikian, keluarga membutuhkan suasana ekonomis, keagamaan dan politis yang mendukung dinamik internal, yakni suasana yang membebaskannya untuk mencari jalan sendiri dan tanpa dikepung kedok suci menyembunyikan kepentingan politik[13]. Itulah tanggungjawab publik etika keluarga kristiani terhadap kondisi masyarakat.

4.        Penutup: Kepenuhan Iman Keluarga Kristiani adalah Tanggungjawab Publiknya
Himmes bersaudara mengatakan bahwa “An interpretation of the Christian creed that ignores the social dimension of human existence falls far short of the fullness of faith[14]. Kepenuhan iman terjadi ketika interpretasi atas kredo/ajaran Kristiani mempertimbangkan dengan serius dimensi sosial dari keberadaan manusia. Keberadaan manusia (masyarakat dan keluarga) zaman ini ada dalam situasi keterpecahan yang amat serius (individualisme, egoisme keluarga, etika pasar). Meski demikian, usaha memulihkan masyarakat itu juga terus berlangsung (dengan kesetaraan gender, penghargaan martabat individu/pribadi, dan sebagainya). Maka, teologi keluarga kristiani, yang mempertimbangkan dengan serius tanggungjawab publik keluarga kristiani, kiranya menuju ke arah kepenuhan iman keluarga-keluarga kristiani. Iman keluarga kristiani menjadi penuh, ketika dalam perjumpaan di medan publik, keluarga kristiani menawarkan pertimbangan seriusnya tentang solidaritas, kesetaraan dan penghargaan martabat manusia. Singkatnya, keluarga kristiani menawarkan nilai-nilai kristianitas (penghargaan martabat, kesetaraan dan solidaritas) itu dengan cara memberikan nilai-nilai itu kepada masyarakat.

Kepustakaan

Abdullah, Irwan, “Modernitas dan Titik Balik Keluarga”, dalam BASIS, No. 05-06, Th. 52, Mei-Juni, 2003.
Cahill, Lisa Sowell, Family: A Christian, Social Perspective, Fortress Press, Minneapolis, 2000.
Geertz, Hiderd, The Javanese Family, The Free Press of Glencoe, Inc., USA, 1961.
Himes, Michael J. & Kenneth R. Himes, OFM, Fullness of Faith: The Public Significance of Theology, New Jersey, Paulist Press, 1993.
Hochchild, Arlie Russel, “Love and Gold” dalam Luciana Ricciutelli (ed.), Women, Power and Justice: A Global Perspective, Zed-Innana Books, London-Toronto, 2005 diunduh dari http://lnx.a77web.it/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=18 tanggal 31 Maret 2010.
Melchers, Ch., S.J., “Keluarga dan Uang” dalam BASIS, No. 05-06, Th. 52, Mei-Juni, 2003.
Porter, Jean, “A Tradition of Civility: The Natural Law as A Tradition of Moral Inquiry” dalam Scottish Journal of Theology, No. 56 (1), Th. 2003.
Raho, Bernard, SVD, Keluarga Berziarah Litas Zaman: Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Nusa Indah, Ende, 2003.
Setyawan, A., “Deagamisasi Keluarga” dalam BASIS, No. 05-06, Th. 52, Mei-Juni, 2003.
Shiraishi, Saya Sasaki, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001.


[1] Hiderd Geertz, The Javanese Family, The Free Press of Glencoe, Inc., USA, 1961, 15-16.
[2] Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, 7.
[3] Irwan Abdullah, “Modernitas dan Titik Balik Keluarga”, dalam BASIS, No. 05-06, Th. 52, Mei-Juni, 2003, 28.
[4] Bernard Raho, SVD, Keluarga Berziarah Litas Zaman: Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Nusa Indah, Ende, 2003, 149.
[5] Arlie Russel Hochschild menyatakan bahwa di tengah arus globalisasi ekonomi, ibu rumah tangga di negara-negara berkembang menjual cinta akan anaknya kepada keluarga-keluarga di negara maju dengan menjadi pengasuh anak (nanny). Ia mencontohkan orang Filipina bernama Vicky Diaz, yang mempunyai lima anak, meninggalkan rumah dan anak-anaknya demi menjadi pengasuh anak di Beverly Hills, USA, dan mendapatkan bayaran $400 setiap minggunya. (Arlie Russel Hochchild, “Love and Gold” dalam Luciana Ricciutelli (ed.), Women, Power and Justice: A Global Perspective, Zed-Innana Books, London-Toronto, 2005 diunduh dari http://lnx.a77web.it/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=18 tanggal 31 Maret 2010)
[6] A. Setyawan, “Deagamisasi Keluarga” dalam BASIS, No. 05-06, Th. 52, Mei-Juni, 2003, 10.
[7] Lisa Sowell Cahill, Family: A Christian, Social Perspective, Fortress Press, Minneapolis, 2000, x-xi.
[8] Lisa Sowle Cahill, Family, xii.
[9] Jean Porter, “A Tradition of Civility: The Natural Law as A Tradition of Moral Inquiry” dalam Scottish Journal of Theology, No. 56 (1), Th. 2003, 30.
[10] Lisa Sowle Cahill, Family, 79.
[11] Lisa Sowle Cahill, Family, 84.
[12] Lisa Sowle Cahill, Family,109.
[13] Ch. Melchers, S.J., “Keluarga dan Uang” dalam BASIS, No. 05-06, Th. 52, Mei-Juni, 2003, 26.
[14] Michael J. Himes & Kenneth R. Himes, OFM, Fullness of Faith: The Public Significance of Theology, New Jersey, Paulist Press, 1993, 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar