Oleh: D. Sukristiono
Perintah agung Tuhan Yesus Kristus dalam Mat. 28:19-20 menyatakan bahwa “Pergilah, ajarilah semua bangsa, dan babtislah mereka atas nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka menaati segala-sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman”. Sementara itu, Gereja juga menyatakan bahwa “Pada hakekatnya, Gereja peziarah bersifat misioner, sebab berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Bapa”[1]. Sifat missioner ini terus menerus dilestarikan oleh Gereja di manapun ia berada. Sifat missioner Gereja adalah hakekat Gereja itu sendiri.
Sifat missioner Gereja ini juga diteruskan oleh Gereja yang hidup di kawasan Asia. Sejalan dengan hal itu, Paus Yohanes Paulus II mengundang uskup-uskup Asia untuk bersidang dalam sebuah sinode pada tanggal 19 April sampai 14 Mei 1998[2]. Tema yang diangkat adalah “Yesus Kristus Sang Penyelamat dan Misi Kasih dan PelayananNya di Asia”. Setelah didahului dengan Lineamenta dan Instrumentum Laboris, sinode akhirnya dipuncaki dengan diundangkannya dokumen post-sinodal Ecclesia in Asia (selanjutnya disingkat EA) pada tanggal 11 November 2009 di Katedral India[3]. Dokumen ini memuat berbagai elemen hidup menggereja di Asia. Salah satu elemen pokok itu adalah pewartaan Yesus Kristus di Asia.
Tema pewartaan Yesus Kristus di Asia adalah tema yang penting sekaligus krusial. Tema ini penting karena sifat missioner adalah hakekat Gereja itu sendiri. Sementara itu, hal ini krusial karena konteks masyarakat Asia kompleks dan sejarah Gereja Katolik di Asia yang tidak begitu mendukung. Maka dari itu, tema sengaja diangkat oleh penulis. Untuk membahasnya, sebuah tesis diajukan sebagai hasil permenungan mengenai tema tersebut. Tesis yang diajukan adalah “Dalam konteks masyarakat Asia yang memiliki keragaman agama, budaya dan hidup dalam kemiskinan, Gereja di Kawasan Asia yang hidup pada masa kini mewartakan Kristus yang adalah Tuhan dan Penyelamat dengan pedagogi baru yang komunikatif dan kesaksian yang menggugah kedalaman hati setiap orang sehingga setiap dapat menyaksikan Kristus dalam diri orang Kristiani”. Kalimat yang cukup panjang ini memuat beberapa unsur yang akan dibahas tersendiri, yakni konteks masyarakat Asia, situasi Gereja di Asia, tugas pewartaan Gereja dan pedagogi pewartaan.
A. Konteks Masyarakat Asia: Keragaman Agama, Budaya dan Kemiskinan
EA mengemukakan garis besar karakteristik masyarakat Asia itu dalam bab pertama (EA no. 5-9). Setidaknya ada empat bagian di dalamnya. Bagian pertama mengemukakan bahwa secara geografis, Asia adalah tempat lahir Sang Juru Selamat, Yesus Kristus (no. 5). Sesudahnya, EA mengemukakan mengenai realitas religious-kultural (no. 6), situasi sosio-ekonomi (no. 7), dan kehidupan politik (no. 8). Secara umum, apa yang dikemukakan oleh EA telah disadari terlebih dahulu oleh para uskup Asia dalam berbagai pertemuan FABC. Dari sebab itu, secara ringkas, masyarakat Asia mempunyai karakteristik antara lain: keragaman agama, budaya dan hidup dalam situasi kemiskinan.
1. Keragaman Agama
Kita semua sudah mengetahui bahwa Asia merupakan benua yang menjadi tempat lahir dan berkembangnya agama-agama besar dunia. Wilayah Timur Tengah menjadi tempat lahir dari agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Sementara itu, wilayah India menjadi tempat lahir dan berkembangnya agama Hindhu dan Budha. Di luar daerah-daerah itu, berbagai agama suku juga berkembang dan masih hidup sampai sekarang. Agama-agama itu kini dianut oleh sebagian besar orang di dunia ini (bdk. EA no. 6)
Bukan hanya menjadi tempat lahir dan berkembangnya agama-agama besar dunia, Asia juga masih mempertahankan berbagai tradisi yang mampu menandingi arus modernisme. EA menyebutkan antara lain “love of silence and contemplation, simplicity, harmony, detachment, non-violence, the spirit of hard work, discipline, frugal living, the thirst for learning and philosophical enquiry” (EA no. 6). Berbagai bentuk ajaran kebijaksanaan seperti hidup dalam kebersamaan dan toleransi masih terus digulati oleh orang Asia, meskipun meraka ada dalam keragaman.
2. Keragaman Budaya
Para uskup Asia menyadari bahwa kebudayaan tidak terlepas dari realitas keagamaan atau spiritualitas. Maka, dalam sidang FABC II di Calcutta tahun 1978 (dua puluh tahun sebelum sinode Asia) dibahas mengenai spiritualitas Asia[4]. Kekhasan spiritualitas Asia adalah harmoni atau keselarasan. Spiritualitas harmoni ini terungkap dalam berbagai bentuk sikap religius dan cara hidup orang Asia. Jika orang Barat lebih banyak menggunakan argumen-argumen rasional dan pasti, spiritualitas harmoni tidak pernah mempertentangkan yang satu dengan yang lain, melainkan yang berbeda ada bersama secara selaras, yang sering diungkapkan dalam lagu, pusi atau kisah-kisah. Dalam Taoisme, misalnya, “Yin” dan “Yang” saling melengkapi satu sama lain. Di Indonesia, kehidupan politik juga didasarkan pada spiritualitas keselarasan yang diungkapkan dalam ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”.
3. Kemiskinan
Dari sisi sosial-ekonomi, masyarakat Asia, yang jumlahnya dua per tiga penduduk dunia ini, 80% penduduknya hidup dalam situasi kemiskinan. Asian Development Bank melaporkan bahwa 900 juta orang miskin hidup di Asia dan Pasifik dan sebagian besar di Asia[5]. Mereka hidup dengan biaya di bawah $1 per hari. Kemiskinan ini terkait dengan berbagai bidang, baik sosial-ekonomi-politik maupun kebudayaan. Secara sosial-politis, berbagai bentuk represi makin menyingkirkan mereka yang miskin ini. Selain itu, globalisasi ekonomi semakin memperburuk keadaan karena terjadi konglomerasi bagi pihak-pihak tertentu dan orang miskin semakin terjerat oleh keadaan (bdk. EA no. 7). Di sisi yang lain, faktur kultural masyarakat Asia yang sangat menghargai asketisme, hidup sederhana dan menerima keadaan seringkali menjadi faktor yang melestarikan kemiskinan ini. Dalam situasi seperti ini ada semacam legalisasi kultural yang mendorong lestarinya kemiskinan dan ketidakadilan. Situasi ini, sudah ditangkap oleh para uskup Asia beserta para teolognya. Dalam pertemuan para uskup tahun 1970, mereka menyatakan komitmennya untuk menjadi “Gereja Kaum Miskin”[6]. Sebelum tahun itu, tepatnya 1965, para imam Asia mendirikan Priests’ Institute of Social Action (PISA) yang berkomitmen menyatukan karya pastoral dengan orang miskin. Kesadaran itu terus menerus ditindaklanjuti oleh uskup Asia, terutama dalam berbagai pertemuan BISA (The Bishopsí Institutes for Social Action).
B. Situasi Gereja di Asia
Ketiga karakteristik masyarakat Asia di atas, dihidupi juga oleh Gereja. Meski demikian, secara internal, Gereja Katolik sendiri mempunyai beberapa ciri. Tentu saja, ciri-ciri itu tidak dapat dilepaskan dari karakteristik umum masyarakat Asia. Artinya, Gereja Katolik hidup bersama dengan keragaman agama-agama lain, hidup dalam kebudayaan Asia dan menjadi bagian dari orang miskin di Asia. Maka, berikut ini penulis mencoba untuk menggali wajah Gereja di Asia dalam beberapa segi:
1. Segi Historis-Kultural
Tak dapat disangkal bahwa iman kristiani yang tumbuh di Asia dibawa oleh para misionaris dari Eropa dan Amerika. Misionaris besar seperti Fransiskus Xaverius adalah orang Eropa. Selain itu, banyak imam yang menjadi misionaris di suatu daerah dan mereka sangat dikagumi adalah imam-imam dari Barat. Tak dapat disangkal pula bahwa kedatangan mereka ke Asia bersamaan dengan politik kolonialisme Barat. Meskipun tokoh seperti Fransiskus van Lith menyatakan keberpihakannya kepada bangsa pribumi, corak Baratnya tidak dapat dihilangkan dari pandangan orang pribumi. Kedatangan para misionaris ini tidak hanya membawa iman, melainkan juga cara pandang dan kebudayaan barat, yang dikatakan sebagai budaya penjajah oleh orang Asia. Imbasnya, Gereja juga dipandang sebagai bagian dari penjajahan. Karena sejarahnya, Gereja di Asia dipandang sebagai hal yang asing dan berdampak buruk bagi orang pribumi.
2. Segi Jumlah
Umat Katolik di Asia berjumlah kecil (minoritas), kecuali di Filipina dan Timor Timur. Di bawah Filipina (81.03%), India merupakan negara dengan jumlah umat katolik terbesar yaitu 17,005,000 dari 1,098,096,000, atau sekitar 1.6%. Selain itu, Indonesia 3.5%, Vietnam 6.87%, Korea Utara 8.86%, China 0.75%, Sri Lanka 6.75%, Pakistan 0.72%, Malaysia 3.17%, Jepang 0.4%, Taiwan 1.37%, Thailand 0.46%, Bangladesh 0.24%, Singapura 3.87% dan sebagainya[7]. Melihat kondisi seperti ini, jumlah orang Katolik di Asia sangatlah sedikit. Mereka hidup di tengah agama-agama besar yang lain. Selain itu, mereka juga tidak jarang menerima perlakuan diskriminatif karena jumlahnya yang sedikit.
3. Banyaknya Denominasi Kristen
George Evers menyatakan bahwa di Asia orang dapat dengan jelas menyaksikan banyaknya denominasi Kristen yang berkembang[8]. Banyaknya denominasi Kristen ini membuat orang semakin punya banyak pertanyaan tentang kredibilitas dari pewartaan. Keraguan dan pertanyaan ini tidak hanya bagi orang tidak beriman kristiani, melainkan juga bagi orang yang sudah beriman kristiani. Imbasnya, pewartaan Gereja mempunyai tantangan yang tidak mudah, baik dari kondisi di luar orang kristen, maupun dari orang kristen sendiri.
4. Wajah Gereja yang Karitatif
Lebih lanjut, George Evers menyatakan juga bahwa wajah Gereja Katolik sangat ditentukan oleh karya-karya sosial-karitatifnya. Keberadaan Rumah Sakit, Sekolah, Panti Asuhan, Institusi Sosial Katolik menjadi wajah yang dapat dilihat langsung oleh orang kebanyakan. Selain itu, kita juga mengakui bahwa keberadaan lembaga-lembaga karitatif tersebut sangat membantu ketika Gereja mulai tertanam di wilayah Asia.
C. Gereja Mewartakan Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Penyelamat
Sebagaimana dikatakan di atas, Gereja pada hakekatnya adalah misioner. Keprihatinan EA adalah soal bagaimana kita berbagi dengan saudara-saudari dari Asia, anugerah yang mencakup segala anugerah, yakni Kabar Gembira Yesus Kristus? Sementara itu, Gereja di Asia hidup dalam kondisi dan situasi yang dilukiskan di atas. Meski demikian, EA tetap menegaskan bahwa Yesus Kristuslah satu-satunya Pengantara dan Penyelamat. Maka, di tengah-tengah keragaman agama dan kebudayaan Asia, Yesus Kristus tetaplah satu-satunya Pengantara dan Penyelamat yang tak pernah tergantikan oleh apapun. Berbagai bentuk kebudayaan itu tidak dapat menggantikan dan mereduksi keunikan dan universalitas Yesus Kristus tersebut (bdk. EA no. 14)
Oleh karena itu, EA menegaskan bahwa tidak ada pewartaan yang benar tanpa pewartaan yang eksplisit (bdk. EA no. 19). EA menegaskan juga bahwa pewartaan itu kini diberikan secara baru, bahwasanya Yesus Kristus adalah jawaban atas kerinduan terdalam bangsa Asia atas Yang Absolut. Pada artikel nomor 12 dikatakan bahwa “In Jesus Christ, through the power of the Holy Spirit, we come to know that God is not distant, above and apart from man, but is very near, indeed united to every person and all humanity in all of life's situations. This is the message which Christianity offers to the world, and it is a source of incomparable comfort and hope for all believers” (EA no. 12).
Penegasan mengenai pewartaan ini disadari bukan tugas yang mudah bagi Gereja di kawasan Asia. Persoalannya sebenarnya bukan persoalan doktriner tentang pribadi Yesus Kristus, melainkan persoalan pastoral, bagaimana melakukan pewartaan Yesus Kristus itu[9]. Situasi masyarakat Asia dan kondisi Gereja sendiri membuat pewartaan itu bukan hal yang mudah. Maka, sinode berusaha menyelesaikan kesulitan ini. Usaha itu terungkap dalam anjuran tersebut yaitu, “The presentation of Jesus Christ as the only Saviour needs to follow a pedagogy which will introduce people step by step to the full appropriation of the mystery” (EA no. 20).
D. Pewartaan Asia: Pedagogi Baru yang Komunikatif dan Kesaksian yang Menggerakkan
Umumnya kita memahami bahwa pedagogi berkaitan dengan teknik didaktis yang dibutuhkan dalam pengajaran, yang di dalamnya menyangkut kondisi sosial dan psikologis anak didik. Bagi Josef Neuner, pedagogi di dalam pewartaan mempuyai arti lebih dalam[10]. Dalam kitab suci, dikisahkan bahwa Allah mengkomunikasikan diriNya seutuhnya dalam diri Yesus Kristus. Allah mengkomunikasikan DiriNya sejak awal mula: “karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di sorga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama”[11]. Dalam diri Yesus Kristus, Allah terlibat dengan seluruh kehidupan manusia. Pewahyuan itu ada di dalam diri Yesus sendiri, pribadiNya, misiNya dan perkataanNya (bdk. DV. Art 4). Maka dari itu, dalam teologi pewahyuan ini, Neuner menyebutnya sebagai pedagogi komunikasi.
Pedagogi komunikasi ini diekspresikan dalam ungkapan-ungkapan yang universal dan tidak eksklusif, bahwa Allah telah bersama seluruh umat manusia. Kehadiran Allah kepada manusia itu ada di dalam Yesus Kristus. Dan, Yesus Kristus sendiri menjalankan misinya dengan sebuah cara yaitu cara naratif. Ia menggunakan berbagai perumpamaan, yang membuat orang berpikir, merenung dan akhirnya menemukan sendiri makna dari kehadiran Yesus itu. Cara naratif ini juga ditangkap oleh EA (bdk. EA no. 20). Dengan berkisah mengenai Yesus Kristus, orang dapat menangkap Yesus Kristus dalam cita rasa Asia, yang dalam kesehariannya mereka berjumpa dengan kisah-kisah yang mempengaruhi hidupnya.
Dengan metode naratif yang komunikatif ini, orang akan menangkap kehadiran Kristus tahap demi tahap[12]. Memang, cara ini tidak akan secara spontan membuat orang jatuh cinta dengan Kristus. Namun, dengan cara ini spiritualitas kemuridan secara pelan akan tertanam dan bertumbuh. Neuner menyebut bahwa pewahyuan Allah dalam diri orang-orang (komunikasi Diri Allah) itu terjadi secara “implisit”. Namun, orang justru akan mengalami Allah dari dalam dirinya sendiri dan iman kristiani bukan sesuatu dari luar yang ditambahkan. Inilah yang oleh Konsili Vatikan II dideklarasikan dalam Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae): “Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Melalui cara-cara itu manusia menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan, sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran” (DH art. 3).
Selain dalam narasi yang komunikatif, pewartaan akan Yesus Kristus yang hadir di dunia ini dilakukan melalui kesaksian[13]. Kesaksian juga menjadi bagian dari pedagogi biblis, karena Yesus sendiri tidak pernah hanya melulu mengajar dengan kata-kata. Yesus selalu memberikan kesaksian yang hidup, bagaimana DiriNya ada dalam Allah dan Allah ada dalam DiriNya. Itulah yang membuat orang dapat melihat Allah dalam kehadiranNya. Demikian pula, orang kristiani di Asia. EA menyebut bahwa “there can be no true proclamation of the Gospel unless Christians also offer the witness of lives in harmony with the message they preach” (EA no. 42). Kesaksian bahwa orang Kristiani di Asia hidup selaras dengan apa yang dipesankan oleh Kristus akan ditangkap oleh orang lain. Orang secara tidak langsung diarahkan untuk menyaksikan Kristus yang hidup dan hadir di dalam diri orang Kristiani itu sendiri. Itulah pewartaan dengan pedagogi baru, yakni pedagogi biblis yang komunikatif dan memberi kesaksian akan Yesus Kristus yang hadir bagi kita.
Penutup
Demikianlah, bagi kita orang kristen yang hidup di Asia, mewartakan Yesus Kristus adalah tugas iman kita. Pewartaan itu kita lakukan sesuai dengan konteks dan cita rasa kita sendiri, yang didasarkan pada pewartaan Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah komunikasi Diri Allah secara utuh, dalam sabda dan karyaNya. Inilah pedagogi biblis yang dapat kita tangkap dan harmonis dengan cita rasa kita sebagai orang Asia. Maka, kita tetap orang Asia dan tetap orang Kristiani.
Daftar Kepustakaan
“Statistics by Country by Catholic Population” dalam http://www.catholic-hierarchy.org/country/sc1.html didownload pada 9 Desember 2010.
ADB 2005: Figting Poverty in Asia and The Pacific, The Poverty Reduction Strategy dalam http://www.adb.org/documents/policies/poverty_reduction/Poverty_Policy.pdf, didownload tanggal 8 Desember 2010.
Evers, George, “Challenges To The Churches In Asia Today” dalam http://eapi.admu.edu.ph/eapr006/georgevers.htm didownload 9 Desember 2010.
Fox, Thomas C., Pentecost in Asia: A New Way of Being Church, Claretian Publication, Quezon City, 2003.
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, (terj. R. Hardawiryana, SJ), Penerbit Obor, Jakarta, 1993.
Kroeger, James H. dan Peter C. Phan (eds.), The Future of The Asian Churches: The Asian Synod and Ecclesia in Asia”, Claretian Publication, Quezon City, 2002.
Paul II, John, Post-Synodal Apostolic Exhortation “Ecclesia in Asia”, dalam http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/apost_exhortations/documents/hf_jp-ii_exh_06111999_ecclesia-in-asia_en.html didownload 9 Desember 2010.
[1] Konsili Vatikan II, “Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja-Ad Gentes” art. 1 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, (terj. R. Hardawiryana, SJ), Penerbit Obor, Jakarta, 1993.
[2] Josef Neuner, “A New Theology of Proclamation” dalam James H. Kroeger dan Peter C. Phan (eds.), The Future of The Asian Churches: The Asian Synod and Ecclesia in Asia”, Claretian Publication, Quezon City, 2002, hlm. 92.
[3] John Paul II, Post-Synodal Apostolic Exhortation “Ecclesia in Asia”, dalam http://www.vatican.va/holy_father/ john_paul_ii/apost_exhortations/documents/hf_jp-ii_exh_06111999_ecclesia-in-asia_en.html didownload 9 Desember 2010.
[4] Thomas C. Fox, Pentecost in Asia: A New Way of Being Church, Claretian Publication, Quezon City, 2003, hlm. 40
[5] ADB 2005: Figting Poverty in Asia and The Pacific, The Poverty Reduction Strategy dalam http://www.adb.org/documents/policies/poverty_reduction/Poverty_Policy.pdf, didownload tanggal 8 Desember 2010.
[6] Thomas C. Fox, Pentecost in Asia, hlm. 58
[7] “Statistics by Country by Catholic Population” dalam http://www.catholic-hierarchy.org/country/sc1.html didownload pada 9 Desember 2010.
[8] George Evers, “Challenges To The Churches In Asia Today” dalam http://eapi.admu.edu.ph/eapr006/georgevers.htm didownload 9 Desember 2010.
[10]Josef Neuner, “A New Theology of Proclamation”, hlm. 97.
[11] Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi-Dei Verbum” art. 3 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, (terj. R. Hardawiryana, SJ), Penerbit Obor, Jakarta, 1993.
[12] Josef Neuner, “A New Theology of Proclamation”, hlm. 99.
[13] Josef Neuner, “A New Theology of Proclamation”, hlm. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar