Lectio Divina, the diligent reading of Sacred Scripture accompanied by prayer brings about that intimate dialogue in which the person reading hears God who is speaking, and in praying, responds to him with trusting openness of heart.(cf.Dei Verbum, 25)

Satriya Pinandita: Menggali Kedalaman Citra Imam di Tengah Tantangan Globalisasi


Oleh: D. Sukristiono

1.             Pengantar
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 12 Mei 2010, Gereja Keuskupan Agung Semarang pada khususnya dan Gereja Indonesia pada umumnya, kehilangan seorang imam pribumi yang amat besar jasanya. Beliau adalah Stanislaus Kostka Darmawijaya, Pr. Ia adalah seorang imam pribumi yang telah menghasilkan puluhan tulisan, baik dalam bidang eksegese kitab suci, teologi sistematik, maupun teologi hidup rohani. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Citra Imam: Satriya-Pinandita. Buku ini berkisah tentang perjumpaan citra satriya pinandita dengan jati diri imam. Tulisan ini pertama-tama hendak belajar mengenai citra imam satriya pinandita. Tidak hanya itu. Tulisan ini juga hendak menatapkan kembali citra imam satria pinandita, yang pribumi dan lokal itu, dengan tantangan globalisasi yang menantang imam. Yang kedua, tulisan ini sekaligus juga untuk mengenang, mensyukuri dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Rama Darmawijaya yang telah memberikan banyak bahan refleksi bagi murid-muridnya, terutama para imam.
Oleh sebab itu, tulisan ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama hendak mengulas mengenai citra satriya pinandita, seperti yang dimaksud oleh Rama Darma dalam bukunya. Pada bagian kedua, penulis hendak mengulas tantangan globalisasi yang diwarnai dengan cara pikir ekonomis, jiwa bisnis dan dunia entertainment yang menggoda hidup para imam. Pada bagian ketiga, akan disampaikan semacam sintesis, bagaimanakah citra imam satriya pinandita hidup dan mampu menjawab tantangan globalisasi saat ini.

2.             Citra Imam: Satriya-Pinandita[1]
Satriya pinandita adalah warisan budaya Jawa yang amat luhur. Citra satriya pinandita ditemukan dalam berbagai sastra Jawa seperti Serat Wulangreh, Serat Tripama, dan juga gambaran tokoh dalam dunia pewayangan. Citra luhur ini bertemu dengan citra imam yang ditemukan dalam tradisi Kitab Suci. Pertemuan itu menampakkan sebuah citra imam yang biblis namun juga bercita rasa luhur kejawaan. Untuk itu, kita akan membahas citra imam satriya pinandita ini.
Seperti dikatakan di atas, citra seorang satriya ditemukan di dalam Serat Wulangreh dan Serat Tripama. Dalam Serat Wulangreh, ciri-ciri seorang satriya adalah:
-               anteng (tenang), jetmika (berbobot) ing budi, sebagai mutu pribadi dalam bersikap dan memahami situasi;
-               ruruh (penuh perhatian), sarwa wasis (pintar), sebagai sifat tindakan yang rendah hati tetapi mampu menyelesaikan tugas;
-               prawira ing batin (teguh dalam batin), teliti, kendel (berani), sebagai kekuatan rohani untuk mengekang diri sendiri dalam tindakan;
-               mantep marang becik (mantap dalam mengupayakan kebaikan), menunjukkan sikap satriya dalam usaha menunaikan tugas;
-               prayitna (waspada), sebagai sikap melaksanakan usaha yang tidak selalu mudah;
-               narima, dalam arti menerima apa adanya untuk diperkembangkan sampai tutug atau sepenuhnya;
-               sarengat, sebagai sikap satriya yang mempunyai iman yang teguh dalam memperjuangkan tugas.
Sementara itu, Serat Tripama menggambarkan gambaran satriya dalam diri tiga orang tokoh, yaitu Sumantri sebagai patih Maespati, Kumbakarna adik Dasamuka dari Alengka dan Adipati Karna sebagai narpati Awangga. Sikap satriya di sini dihubungkan dengan kesetiaannya terhadap negara. Serat Tripama menampilkan sikap satriya itu dalam gambaran seseorang yang:
-               Guna, kaya, purun (keilahian), yaitu kekayaan akal, kesungguhan, kesediaan berjuang
-               Loyalitas pada negara, seperti gambaran Kumbakarna yang setia pada kakaknya,
-               Ketulusan dalam membalas budi baik, seperti gambaran adipati Karna.
Melihat dua sastra ini, satriya merupakan gambaran seseorang yang memang istimewa. Keistimewaannya bukan karena bawaan dirinya sejak lahir saja, melainkan karena usahanya menjadikan mutu kehidupan yang dianugerahkan Sang Pencipta berkembang sepenuhnya dalam usaha dan perjuangan. Perjuangan seorang satriya adalah perjuangan mengembangknan sifat dan sikap-sikap di atas. Bahkan dalam perjuangannya ini, seorang satriya tidak takut untuk menyerahkan nyawanya sendiri.
Resi Bisma
Sedangkan seorang pandita, dalam dunia perwayangan, sering dihubungkan dengan seorang Resi seperti Bisma. Selain itu, juga ada tokoh lain seperti Abiyasa. Seorang Abiyasa adalah sosok yang mungkur ing kadonyan, kawawa nahan hawa, angekes dur angkara, pilalu mahasing ngasepi, memayu hayuning jagad, amung amurih rahayuning kang samya olah puja lan boja. Dengan sikap dan sikap seperti ini, seorang pandita punya kemampuan weruh sadurunge winarah, ngerti kang bakal dumadi. Itu semua muncul akibat gentur ing tapa. Singkatnya, citra seorang pandita dapat dirangkum:
-               Pengalaman rohaninya matang; bisa bergaul dengan keheningan;
-               Kepribadiannya utuh, mantap dan kokoh;
-               Bisa lepas bebas terhadap yang duniawi;
-               Menjadi inspirasi dan sumber kebijaksanaan bagi sesama;
-               Mampu melihat dan memahami, memberikan makna masa depan;
-               Kemampuan ini berarti untuk mendampingi bangsa;
-               Merindukan keselamatan bagi semua, dan menghargai yang asli pada diri manusia.
Sosok seorang satriya pinandita merangkum sikap-sifat satriya dan pandita. Citranya adalah gentur ing tapa, sengsem mahas ing ngasepi, weruh sadurunge winarah, mangerti kang bakal dumadi, ambeg para marta berbudi bawa leksana. Tokoh ini berjuang di dalam keheningan untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan bersama. Ia ada dalam masyarakat namun tidak larut, bisa memberikan daya kekuatan bagi usaha mengembangkan masyarakat dengan mutu yang ada dalam diri sendiri.
Citra satriya pandita ini berjumpa dengan citra imam di dalam Gereja Katolik. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik menggali kembali jati diri imamat di dalam Gereja perdana. Jati diri imam terkait dengan tiga hal pokok yaitu: pertama, kesatuannya dengan Yesus Kristus, sakramen kasih Allah. Dalam bahasa Pastores Dabo Vobis, hidup seorang imam itu hendak menyerupai Kristus. Ia hendak menyerupai Kristus dengan bersatu dalam Kristus sendiri. Kedua, kesatuannya dengan Gereja secara lebih erat dan dalam. Seorang imam adalah gembala jemaat beriman. Ketiga, seorang imam adalah pemimpin yang mengantarai yang ilahi dan yang insani, baik dalam ibadat maupun dalam perjuangan hidup sehari-hari. Gambaran ini ditemukan dalam gambaran imam Melkisedek.
Selain itu,  jati diri seorang imam juga ditentukan dalam ikatannya dengan uskup. Presbiterorum Ordinis menyebut bahwa:  “Semua imam bersama para Uskup berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentakdisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis mereka dengan Dewan para Uskup”. (Bdk. LG. 28) Dengan demikian, seorang imam ada dalam kolegialitas dengan uskup, sesama imam, diakon dan seluruh jemaat beriman. Di dalam ikatannya dengan komunitas inilah jati diri seorang imam mendapatkan arti dan maknanya. Selain itu, ikatan komunitas ini juga memberi tempat bagi keterlibatan semakin banyak orang di dalam pelayanan gereja. Komunio berarti juga partisipasi penuh setiap orang beriman di dalam kebersamaan sebagai Gereja[2].
Dengan melihat citra satriya pinandita dan jati diri imam dalam Gereja, kita bisa menjumpai sebuah titik temu. Citra satriya pinandita memang lebih banyak menekankan sikap dan sifat seseorang. Dengan kata lain, sisi etis lebih menjadi tekanan. Sementara itu, jati diri imam berpusat pada keserupaannya dengan Kristus dan kesatuannya dengan Gereja. Maka, apa yang etis ini dapat menjadi kemungkinan bagi keberadaan imam secara eksistensial dalam Gereja. Maka, citra imam satriya pinandita dirumuskan dalam lima hal berikut:
-               Sikap dan keterbukaan pada kehendak ilahi. Citra seorang satriya pinandita yang mencintai keheningan dan gentur ing tapa memungkinkan dirinya terbuka dan mengenal kehendak Allah. Seorang imam juga adalah orang yang disatukan dengan Kristus sendiri. Hidupnya digerakkan oleh kehendak Allah sendiri.
-               Melayani kebutuhan sesama, memayu hayuning bawana. Kridha seorang satriya pinandita adalah berjuang melawan kejahatan dan menjadikan dunia indah sebagaimana kehendak Allah. Seorang imam satriya pinandita selalu berjuang demi sesama, menjadikan dirinya man of Christ for others.
-               Membiarkan dirinya menjadi tanda makna. Seorang imam satrya pinandita mengolah dirinya, pengalaman hidupnya, berdasarkan sabda Allah, sehingga orang lain yang berjumpa dengan dirinya mendapatkan petunjuk dan inspirasi. Keakrabannya dengan Allah akan membawa petunjuk bagi orang lain.
-               Loyalitas pada perjuangan mengabdi kepentingan luas. Seorang imam satriya pinandita mengabdikan diri seutuhnya pada Gereja demi partisipasi pada karya keselamatan Allah. Hidupnya diserahkan seluruhnya kepada Allah dalam jemaat beriman. Ia merelakan kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Ia setia pada Allah dalam Gereja.
-               Cakrawala masa depan. Seorang satriya pinandita adalah orang yang wasis membaca gelagat dunia, weruh sadurunge winarah. Masa depan itu adalah cakrawala Allah sendiri yang menhendaki keselamatan umat manusia. Hidupnya menyongsong kedatangan Kristus dalam kancah perjuangan hidup manusia saat ini.
Itulah kiranya citra seorang imam satriya pinandita. Imam yang demikian menghayati jati diri imam dalam Gereja dalam sikap etis seorang satriya pinandita. Imam satriya pinandita tidak menarik diri dari alam ramai, meski ia tidak larut dalam keramaian dunia. Atau, biasa disebut tapa ngrame. Saat ini, imam berjumpa dalam situasi yang sama sekali menantang, yaitu era globalisasi. Era ini membawa mentalitas yang menantang imam dalam hidupnya. Maka berikut ini akan dilihat tantangan era globalisasi itu.

3.             Globalisasi: Tantangan Hidup Imam Masa Kini
Globalisasi adalah sebuah peristiwa yang kita alami bersama-sama saat ini. Globalisasi menawarkan cara pandang, cara merasa dan cara bertindak yang baru, dalam paradigma bahwa seluruh dunia kini menjadi sebuah desa global. Mobilisasi orang, barang, informasi dan modal dalam waktu cepat dapat terjadi. Segala sesuatu menjadi serba cepat dan orang berlomba-lomba supaya segala sesuatu menjadi serba murah. Globalisasi didukung oleh perkembangan teknologi dalam berbagai bidang yang meningkat dengan pesat, baik teknologi komunikasi, transportasi maupun teknologi-teknologi lain. Selain itu, globalisasi tak lain digerakkan pertama-tama oleh paradigma fundamentalisme pasar, bahwa segala sesuatu dipikir, dipertimbangkan dan diputuskan memakai logika pasar. Hal ini berpengaruh dalam hidup orang pada umumnya, maupun Gereja pada khususnya, termasuk imam di dalamnya. Globalisasi memberi peluang dan tantangan, baik yang positif maupun negatif. Maka, kita akan melihat pengaruh yang dibawa globalisasi itu.

a.             Mentalitas Negatif dari Globalisasi[3]
Globalisasi yang membawa paradigma desa global, dengan diikuti logika pasar dan didukung perkembangan teknologi menawarkan mentalitas-mentalitas yang justru merong-rong keutuhan hidup manusia. Setidaknya, bisa disebut beberapa hal, yaitu:
1)             Sekularisme
Kemajuan akal budi manusia kini semakin pesat. Teknologi-teknologi baru bermunculan. Apa yang pada sepuluh tahun lalu masih menjadi misteri, kini sudah bisa terbuka dan diketahui oleh manusia. Bahkan, karena kemajuan pemikirannya, manusia mulai percaya pada dirinya sendiri. Masalah-masalah dunia ini bisa dipecahkan oleh manusia sendiri, tanpa bantuan pihak di luar manusia. Dunia menemukan otonominya. Itulah sekularisme. Sekularisme adalah cara pandang yang melihat bahwa dunia ini otonom, tidak tergantung pada Allah. Allah menjadi tidak relevan lagi bagi manusia karena manusia mampu mengatasi persoalan-persoalan dirinya.
2)             Individualisme
Selain sekularisme, globalisasi juga didasari oleh cara pandang individualisme. Dalam cara pandang ini, masyarakat bukan dilihat sebagai komunitas atau kebersamaan, melainkan sebagai kumpulan individu-individu. Kepentingan individulah yang menjadi tekanan. Karena itu, pemenuhan kehendak individulah yang menjadi ukuran bagi kepenuhan hidup. Dengan kata lain, orang secara tidak sadar digerakkan untuk mencapai self-fulfilment, pemenuhan diri. Cara pandang ini membuat orang tidak lagi berpikir tentang kebersamaan. Solidaritas menjadi tidak ada artinya. Yang penting adalah mengejar keuntungan dan kepentingan pribadi. Siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia menang.
Mental self-fulfilment ini membahayakan karena setiap orang akan menjadi predator bagi yang lain. Orang akan dengan mudah mengorbankan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. Selain itu, orang akan mengejar yang serba nikmat dan serba menguntungkan, tanpa mengindahkan pertimbangan nilai-nilai moral. Yang bernilai moral tinggi adalah kepentingan diri sendiri. Ciri ini nampak antara lain dalam cara orang memburu karier, memanfaatkan jabatan-jabatan publik demi kepentingan diri sendiri, korupsi, dan sebagainya. Dengan adanya internet, yang menawarkan kota-cyber (cybercity), orang bisa melakukan apa saja dan hanya duduk sendirian berjam-jam di depan komputer. Orang bisa menikmat cyberfood, cybergame bahkan cybersex tanpa perlu bertanggungjawab. Perjumpaan antar pribadi digantikan oleh tatapan semu komputer. Komunitas menjadi tidak relevan.
3)             Mental pasar-konsumerisme
Sejalan dengan individualisme, globalisasi (ekonomi) menawarkan mentalitas pasar, yang terkenal dengan adagium: there is no free lunch! Tidak ada makan siang gratis. Segala sesuatu diukur dengan nilai tukar uang. Kalau ingin memiliki Anda harus membayar. Meski itu amat penting, kalau Anda tidak punya uang Anda tidak dapat memilikinya. Mentalitas ini tidak lagi memperhitungkan lagi pemberian yang tulus. Tidak ada lagi kebaikan hati untuk menolong yang kecil dan tersingkir.
Sebaliknya, mereka yang punya akan ada dalam mentalitas konsumerisme. Orang menjadi tergila-gila untuk membeli, meskipun itu tidak dibutuhkan. Adagiumnya adalah saya membeli maka saya ada. Kepuasan orang terletak pada pembelian itu sendiri, tanpa memperhitungkan nilai guna maupun nilai-nilai yang lain ketika orang membeli. Konsumerisme ini mendapatkan daya dorong yang kuat dengan adanya media-media marketing yang makin canggih memanipulasi kenyataan. Kita bisa melihatnya dengan iklan-iklan yang makin canggih memanfaatkan kecenderungan psikologis orang yang ingin self-fulfilment
Imam tidak lepas dari pengaruh-pengaruh negatif globalisasi itu. Bisa jadi seorang imam yang hidup di zaman ini terlalu mabuk oleh internet sehingga perjumpaan personal menjadi artifisial. Bisa jadi imam menjadi orang yang gila kerja, hedonis, konsumeris, malas belajar, dan tidak melihat bahwa pelayanannya ada di dalam pelayanan Kristus sendiri. Imam yang demikian tak ayal lagi mudah mengalami burn out, lelah dan loyo[4]. Namun, globalisasi tidak melulu membawa efek negatif bagi hidup orang dan gereja. Ada juga tuntutan positif yang menarik untuk dicermati.

b.             Globalisasi dan Gereja
Di atas sudah dikatakan bahwa globalisasi membawa paradigma desa global, di mana masyarakat menjadi semakin terbuka, satu sama lain. Hal ini berpengaruh pula pada hidup Gereja. Di zaman global ini, Gereja tidak lagi bisa menutup diri sebagai ghetto. Maka, masyarakat terbuka menuntut Gereja yang terbuka, open society, open church[5]. Di dalam keterbukaan publik ini, tanggungjawab Gereja semakin menjadi tuntutan. Gereja, umat dan para pelayannya, mempunyai tuntutan mempertanggungjawabkan diri di hadapan yang lain. Tuntutan tanggungjawab keterbukaan ini ada di dalam terma akuntabilitas dan profesionalitas. Dengan dua hal inilah Gereja menjadi kredibel.
1)             Akuntabilitas[6]
Akuntabilitas tidak hanya menyangkut pertanggungjawaban tata kelola Gereja. Akuntabilitas berarti lebih mendalam, yakni bahwa Gereja, kawanan Allah, yang hidup di dunia saat ini mempertanggungjawabkan imannya di hadapan dunia dan di dalam komunitasnya. Pertanggungjawaban iman ini salah satunya adalah tata kelola Gereja yang makin transparan dan melibatkan. Namun, ada banyak aspek lain, seperti bagaimana kolaborasi awam dan imam dalam berbagai bidang kehidupan menggereja bisa semakin aktif dan mendalam. Keterlibatan menjadi semakin meluas, bahkan menyangkut semua orang, tidak hanya yang ada di dalam keanggotaan Gereja saja. Di sinilah Gereja yang terbuka mendapatkan maknanya yang mendalam. Sebagaimana dikatakan dalam Gaudium et Spes, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS. 1).
2)             Profesionalitas[7]
Terma profesionalitas memang pertama-tama menunjuk pada profesi-profesi publik, seperti dokter, pengacara, guru dan sebagainya. Orang yang profesional artinya ia memberikan keseluruhan dirinya bagi pelayanan sesuai profesinya ini. Maka, seorang pelayan yang profesionalitas artinya ia sungguh-sungguh bekompeten di dalam profesinya dan memberikan diri seutuhnya, seluruh waktu dan hidupnya bagi profesinya ini. Dengan kata lain, ia mempertanggungjawabkan hidupnya dalam pelayannya sebagai seorang pelayan. Motivasinya bukan lagi pemenuhan diri melainkan sungguh-sungguh altruis.
Apa yang positif dan negatif di dalam globalisasi menantang hidup imam. Jati diri imamatnya, yang secara konkret hidup dalam arus globalisasi dan melayani umat yang ada dalam situasi yang sama menantang hidup imam. Lalu, apa inspirasi citra imam satriya pinandita bagi imam di zaman globalisasi ini? Inilah yang akan kita bahas berikutnya.

4.             Citra Imam Satriya Pinandita dalam Tantangan Globalisasi
Sebagaimana dikatakan di atas, jati diri imam ada dalam kesatuannya dengan Kristus, Gereja dan kepemimpinan di hadapan jemaat. Citra imam satriya pinandita memberi dimensi etis dari keberadaan imam di tengah-tengah dunia. Menghadapi arus globalisasi ini, kiranya dapat ditarik beberapa hal mengenai citra imam satriya pinandita, yaitu:
a.             Terarah pada Allah
Seorang imam disatukan dengan Kristus dan hidupnya berupaya menyerupai Kristus. Ia adalah pribadi yang dekat dengan Allah, mengerti kehendak Allah dan berupaya melaksanakan kehendak Allah itu. Dewan Imam KAS menunjuk kata yang bagus: necep Sabda Dalem, neges Karsa Dalem, ngemban dhawuh Dalem[8]. (mendalami Sabda Tuhan, menangkap kehendak Allah dan tekun melaksanakannya). Dengan lain kata, seorang imam adalah orang yang mampu membuat penegasan roh (discernment) di tengah berbagai tawaran media yang menggiurkan, sehingga hidupnya digerakkan oleh Roh Allah sendiri. Maka, seorang imam satriya pinandita mencintai keheningan di tengah hiruk pikuk zaman, gentur ing tapa, sengsem mahas ing ngasepi. Ia adalah orang yang mampu teguh pada jati dirinya, prawira ing batin, mantep marang becik, dan prayitna (waspada).
Dengan citra yang demikian, ia adalah imam dalam gambaran Melkisedek, yang mengatasi kenyamanan duniawi, mengantarai dan mempertemukan manusia dengan dunia ilahi atau rohani, di tengah hiruk pikuk sekularisme dan kesombongan manusia[9].

b.             Gambaran Kepala Satriya Pinandita
Seorang imam digambarkan sebagai kepala, di mana ada penglihatan yang benar (visi), perkataan/pewarataan kepada banyak orang dan pancaran wajah yang menggerakkan orang[10]. Tuntutan globalisasi yang menginginkan akuntabilitas dan profesionalitas harus ditangkap oleh seorang imam. Dari pengenalannya yang mendalam akan kehendak Allah, kesetiaannya pada Gereja, maka seorang imam satriya pinandita adalah pemimpin yang visioner, jetmika ing budi, wasis, akuntabel dan profesional. Imam satriya pinandita adalah orang yang dapat dipercaya (kredibel) oleh banyak orang. Kepemimpinannya diarahkan pada melayani kebutuhan sesama, memayu hayuning bawana. Kualitas etisnya ambeg para marta berbudi bawa leksana.

c.              Gambaran Gembala Satriya Pinandita
Gambaran seorang imam sebagai gembala berciri mengenal suara, menjadi pintu dan menyerahkan diri kepada kawanan dombanya. Seorang gembala yang satriya pinandita adalah orang yang loyal, setia terhadap komunitasnya. Ia membangun komunio, dalam arti partisipasi aktif seluruh jemaatnya. Tidak ada satupun yang hilang atau menjadi korban. Hatinya penuh welas asih kepada setiap orang. Ia murah hati dan tidak menuntut pamrih. Citra seperti ini amat dibutuhkan oleh orang zaman sekarang yang berpandangan bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang gratis. Kemurahan hati seorang imam akan menjadi tawaran alternatif yang dapat memberi inspirasi bagi kawanannya, sebagaimana hidup pendita yang juga selalu menjadi inspirasi bagi orang lain. Kemurahan hati ini juga ditunjukkan dengan keberpihakannya pada mereka yang tersingkir oleh arus globalisasi. Ia adalah alter Kristus yang hadir, solider dan terlibat dengan penderitaan orang zaman sekarang. Ia seorang yang memberi alternatif tawaran bahwa komunitas itu penting, dan kita tidak dapat hidup sendiri (individualistik). Ia mengubah self fulfilment menjadi self giving. Itulah citra gembala satriya pinandita[11].
Kiranya, citra imam satriya pinandita dapat menjadi alternatif jawaban atas arus globalisasi yang melanda setiap orang zaman ini. Seorang imam satriya pinandita mampu membaca tanda-tanda zaman. Hidupnya terarah pada Allah, karena batinnya wening. Ia mampu membedakan roh, dan bertindak sesuai kehendak Allah. Ia adalah kepala yang visioner, wasis, jetmika ing budi, ambeg para marta berbudi bawa leksana. Ia adalah gembala yang penuh perhatian, ambeg welas mring pepadha, melibatkan dan memberdayakan setiap orang. Maka, ia adalah seorang teladan pendoa dan pekerja/pelayan yang baik[12].

5.             Penutup
Apa yang dikatakan di atas memang mudah dikatakan, namun tidak gampang dilaksanakan. Meskipun demikian, hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Seorang imam satriya pinandita tidak akan berhenti belajar. Ia akan belajar dan berusaha terus menerus nganti tutug (sampai kesudahannya). Dalam bahasa formasi, seorang imam akan terus menerus mengalami on going formation, usaha membentuk diri terus menerus. Maka sikap rendah hati untuk mau terus menerus diubah sangat diperlukan. Tentunya, setiap orang mesti dapat mendukung usaha ini, sehingga semua orang (uskup, rekan imam dan seluruh jemaat) juga terlibat di dalam on going formation seorang imam satriya pinandita.

Kepustakaan
Darmawijaya, St., Citra Imam: Satrya-Pinandita, Kanisius: Yogyakarta 1991
Darminta, J, Interioritas Imamat (diktat), Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2010.
Lakeland, Paul, Catholicism at the Crossroad: How the Laity can Save the Church, Continuum, New York 2007.
Lennan, Richard, “Communion Ecclesiology: Foundations, Critiques and Affirmations” dalam Pacifica 20, Februari 2007.
Martasudjita, E., Pr. (Ed.), Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2009.
Parso Subroto, Ag., MSF, Citra Diri Imam yang Diharapkan Zaman Dunia Global (Rekomendari Rapat Dewan Imam Keuskupan Agung Semarang, 13-14 Juni 2005), Keuskupan Agung Semarang, Muntilan 2005.
Tim Retret Kesetiaan Imam 2010 Keuskupan Agung Semarang, Kesetiaan Kristus Kesetiaan Imam: Retret Imam dalam Kehidupan Sehari-hari, Keuskupan Agung Semarang, Semarang 2010.


[1] Bagian ini merangkum St. Darmawijaya Citra Imam: Satrya-Pinandita, Kanisius: Yogyakarta 1991
[2] Richard Lennan, “Communion Ecclesiology: Foundations, Critiques and Affirmations” dalam Pacifica 20, Februari 2007
[3] Ag. Parso Subroto, MSF, Citra Diri Imam yang Diharapkan Zaman Dunia Global (Rekomendari Rapat Dewan Imam Keuskupan Agung Semarang, 13-14 Juni 2005), Keuskupan Agung Semarang, Muntilan 2005, 4-5.
[4] Ag. Parso Subroto, MSF, Citra Diri Imam yang Diharapkan Zaman Dunia Global, 11.
[5] Paul Lakeland, Catholicism at the Crossroad: How the Laity can Save the Church, Continuum, New York 2007, 90-101.
[6] Paul Lakeland, Catholicism at the Crossroad: How the Laity can Save the Church, Continuum, New York 2007, 49.
[7] A. Sudiarja, “Gereja yang Selalu Memperbarui Diri: Persoalan Profesionalitas Kepemimpinan Jemaat”, dalam E. Martasudjita, Pr. (Ed.), Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2009, 119-128.
[8] Ag. Parso Subroto, MSF, Citra Diri Imam yang Diharapkan Zaman Dunia Global, 19.
[9] Dr. J. Darminta, SJ., Interioritas Imamat (diktat), Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2010, 24.
[10] Dr. J. Darminta, SJ., Interioritas Imamat, 27.
[11] Bdk. Ag. Parso Subroto, MSF, Citra Diri Imam yang Diharapkan Zaman Dunia Global, 15.
[12] Tim Retret Kesetiaan Imam 2010 Keuskupan Agung Semarang, Kesetiaan Kristus Kesetiaan Imam: Retret Imam dalam Kehidupan Sehari-hari, Keuskupan Agung Semarang, Semarang 2010, 199.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar