Lectio Divina, the diligent reading of Sacred Scripture accompanied by prayer brings about that intimate dialogue in which the person reading hears God who is speaking, and in praying, responds to him with trusting openness of heart.(cf.Dei Verbum, 25)

PEREMPUAN MENOLAK TUNDUK: Analisa Naratif, Struktural dan Kategori Hermeneutik Paul Ricoeur atas Novel “Roro Mendut” versi Y.B. Mangunwijaya


Oleh: D. Sukristiono

I.         Analisa Naratif Novel Roro Mendut” versi Y.B. Mangunwijaya
Analisa naratif mencoba menggali teks dengan pendekatan kisah itu sendiri. Dalam hal ini, novel “Roro Mendut” versi Y.B. Mangunwijaya adalah juga merupakan sebuah kisah yang dapat didekati secara naratif. Dalam novel “Roro Mendut” ini, tokoh utama protagonis adalah Roro Mendut, sedangkan tokoh antagonisnya adalah Wiroguno. Berikut coba dianalisis secara naratif novel “Roro Mendut versi Y.B. Mangunwijaya ini.

  1. Sinopsis
Mendut adalah seorang gadis desa yang senang tinggal di pesisir utara Jawa (Telukcikal) untuk ikut Siwa-nya sebagai nelayan. Adipati Pragola, Bupati Pathi mempersuntingnya sebagai istri, namun belum sempat menikah karena perang. Prajurit Kabupaten Pati saat itu harus menghadapi pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Wiroguno, karena Pati tidak patuh pada Mataram. Adipati Pragola kalah sehingga Mendut beserta Ni Semangka (Sri Wahyuni), embannya, dan Genduk Duku dibawa ke Mataram sebagai boyongan. Susuhunan Hanyokrokusumo, raja Mataram kala itu, memberikan Roro Mendut kepada Tumenggung Wiroguno sebagai hadiah, dan mengangkat Nyai Wiroguno menjadi Nyai Ageng.
Wiroguno sebenarnya sudah terpikat pada Roro Mendut sejak bertemu pertama kali di Pati. Ketika Mendut diboyong ke puri Wirogunan, ia diminta menari saat upacara penyambutan. Ia mau menari dengan syarat ia dipulangkan ke orang tuanya. Karena merasa berkuasa, Wiroguno tidak memedulikannya. Namun, janji ini tak kunjung ditepati. Berkali-kali Wiroguno mendekati dan membujuk Mendut, namun ia selalu menolak. Wiroguno begitu jatuh cinta dengan kecantikan Roro Mendut, namun juga selalu kalah dengan keteguhan hati Mendut. Nyai Ageng sempat cemburu pada Mendut, namun karena kasihan dan demi martabat suaminya ia mengalah dan ikut membujuk Mendut supaya mau dipersunting Wiroguno. Selain cantik dan mempunyai pendirian yang teguh, Roro Mendut juga sosok wanita yang pintar dan tidak suka dengan suasana Wirogunan yang serba penuh aturan. Ia menginginkan kebebasan. Dalam situasinya yang sulit ini, Roro Mendut dekat dengan salah satu selir Wiroguno, yaitu Putri Arumardi.
Selain tidak suka dengan situasi istana, Roro Mendut sebenarnya mencintai seorang pemuda dari Pekalongan bernama Pronocitro. Sebelumnya, mereka pernah bertemu di tempat Siwa menjala ikan. Pronocitro adalah anak dari seorang saudagar kaya bernama Nyai Singabarong. Sebenarnya Nyai Singobarong menjodohkan Pronocitro dengan seorang gadis dari Malaka bernama Khasanah binti Abdullah, anak seorang penjual guci di Malaka. Namun, Pronocitro tidak mau menerima perjodohan maupun meneruskan usaha dagang ibunya. Ia pergi ke Mataram bersama dengan dua abdinya, Ntir-untir, Bolu dan dua penembak jitu, Bedhul dan Bedhil.
Suatu ketika, Tumenggung Wiroguno memimpin Sodoran-Setonan (latihan perang) yang ditonton dan dikagumi rakyat. Ia ingin Roro Mendut ikut menonton keperkasaannya, supaya luluh hatinya. Namun, Roro Mendut tidak datang. Karena jengkel, Wiroguno akhirnya meminta pajak dari Roro Mendut sebesar tiga real setiap hari. Untuk membayar pajak, Roro Mendut diizinkan untuk menjual rokok. Roro Mendut menjual puntung rokok di pasar. Roro mendut berhasil. Setelah beberapa hari ia mampu membayar pajak pada Wiroguno. Ketika pundi uang diberikan Nyi Ajeng kepada Wiroguno, ia menaikkan pajak menjadi sepuluh real sehari. Usaha Roro Mendut menjual puntung rokok diteruskan. Ia menaikkan harga menjadi 100 keping. Akan tetapi, kenaikan harga itu tidak membuat dagangan Mendut tidak laku. Justru sekarang ia mencapai keberhasilan. Kini yang membeli bukan lagi orang-orang pasar, tetapi orang-orang kelas menengah, bahkan demang. Tidak hanya dengan kepingan uang, namun, perhiasan, gelang, anting-anting, sabuk perak dan keris.
Ketika itu, Pronocitro, Ntir-untir dan Bolu juga sampai di pasar yang sama. Mereka bertemu dengan mBok penjual wedang dan diberitahu bahwa keramaian yang terjadi di pasar itu karena ada gadis Pantai Utara, calon mempelai Tumenggung yang menjual rokok. Dengan bantuan Ntir-ntir dan Bolu yang menipu para penjaga (bernama Wungkal) Pronocitro dapat masuk menyusup ke belakang bilik penjual rokok. Terkagetlah Pronocitro karena penjual rokok itu adalah Mendut yang ia kagumi di pantai utara dahulu. Demikian pula Mendut. Ia kaget dengan kehadiran Pronocitro di situ. Setelah saling bertemu pandang, Pronocitro pergi dan Mendut menangis. Mendut menyuruh Genduk Duku untuk mencari tahu tentang Pronocito. Genduk Duku mencari Pronocitro dengan berpura-pura menjadi penjual telur. Di tengah perjalanan, ia mendengar pengumuman dari mantri pasar bahwa besok pagi akan ada sabung ayam di halaman Tumenggung Prawiromartani. Sesudah bertemu dengan Ntir-untir, Bolu dan mBah Dipo (penjual kacang rebus) ia diberitahu bahwa pemuda yang dicari bernama Pronocitro dari Pekalongan dan tinggal di muka regol Wirogunan.
Setelah melakukan pertimbangan, atas saran Suwitoprojo, pajak dinaikkan menjadi dua puluh real dan Wiroguno juga akan pergi ke pasar untuk melihat keadaan dengan cara menyamar. Ketika itu, Roro Mendut sudah menjual puntung rokok di pasar dan harga puntung rokok sudah dinaikkan. Saat itu masih banyak pembeli dari kalangan ningrat dengan membawa harta berpeti-peti. Maka tersingkirlah rakyat yang tak punya uang. Di tengah-tengah adu jago Pronocitro nekat membawa lari Roro Mendut, Genduk Duku dan Ni Semangka menggunakan cikar, dibantu oleh Ntir-Ntir, Bolu, Bedhul dan Bedhil. Suasana pasar kacau balau, kebakaran terjadi di mana-mana. Prajurit-prajurit disiagakan karena banyak yang mengira ada serangan dari musuh. Di tengah perjalanan Roro Mendut dan Pronocitro memadu kasih. Namun, akhirnya Roro Mendut menolak untuk meneruskan melarikan diri, karena ada seorang teman yang juga menderita di dalam puri, yaitu Putri Arumardi. Kemudian, mereka diantar pulang ke Wirogunan. Karena sudah larut malam baru pulang, Wiroguno marah. Namun, Nyai Ageng melerainya dan membawa Mendut masuk ke kamar.
Pronocitro melamar pekerjaan di puri Wirogunan. Setelah bertemu Suwitoprojo dan Wiroguno, Pronocitro ditempatkan untuk memelihara kuda-kuda keputrian. Pada suatu malam, Pronocitro memutuskan untuk membawa lari Mendut. Malam-malam ia menyelinap ke gandhok keputrian. Di sana Mendut sedang bercengkrama dengan Arumardi. Sesudah Arumardi pulang ke gandhoknya, Pronocitro masuk ke gandhok dan bertemu dengan Mendut. Mereka berdua saling berkasih-kasihan. Kejadian itu diketahui oleh penjaga dan dilaporkan kepada Nyai Ajeng. Nyai Ajeng melarang untuk langsung menyergap mereka. Nyai Ajeng kemudian menghubungi Wiroguno dan mengajaknya ke gandhok Mendut. Pronocitro segera ketahuan oleh Wiroguno. Ia langsung memerintahkan untuk mencari dan menangkap Pronocitro. Suasana puri langsung gaduh. Namun dengan dibantu Arumardi, Ntir-untir dan Bolu, Pronocitro dan Mendut melarikan diri menggunakan kuda. Wiroguno yang hendak menangkap malam itu juga dilarang oleh Nyai Ajeng. Malam itu yang mencari hanya prajurit Jogopuro, namun tidak berhasil. Mendengar laporan ini, Wiroguno marah dan mengalami penderitaan batin sangat dalam.
Sesudah tiga hari, Wiroguno memutuskan untuk mencari sendiri Mendut dan Pronocitro. Bukan demi wanitanya, namun demi martabat laki-laki dan Kerajaan Mataram. Seminggu kemudian telah berlalu. Sementara itu, Pronocitro dan Roro Mendut sampai di tepi sungai Oya, di pantai selatan. Mereka membangun gubuk di tengah semak-semak. Pencarian oleh pasukan Wiroguno terus dilakukan. Genduk Duku mengikutinya dari belakang. Roro Mendut dan Pronocitro hendak melarikan diri melaui pesisir dan meyeberangi Sungai Progo. Namun, kebetulan mereka dipergoki oleh lurah penjaga pesanggrahan kerajaan di Ranwe Ganting dan seorang kebayan. Mereka tidak langsung melaporkan penglihatan mereka itu, namun membiarkan mereka menyeberangi sungai Oya yang dibantu oleh pengemudi rakit. Ketika sedang menyeberang, pasukan Wiroguno yang telah diberitahu lurah dan kebayan menemukan Roro Mendut dan Pronocitro di dekat muara sungai Opak-Oya. Mereka berdua dikepung pasukan Wiroguno. Terjadilah percakapan antara Pronocitro, Mendut dan Wiroguno. Bagi Mendut, ketika Wiroguno mempersunting Mendut, bukan Mendut sebenarnya yang diperoleh, tetapi hanya “lambang peneguhan senjata dan kewibaan Mataram”. Sesudah diberi tombak, keris dan kuda oleh Suwitoprojo, Pronocitro dan Wiroguno terlibat dalam perkelahian sengit. Akhirnya, keris Wiroguno menembus ke dada Pronocitro. Wiroguno mengulanginya, tetapi Mendut maju spontan membela kekasihnya, dan tertusuk keris itu. Mereka berdua mati berangkulan dibawa ombak ke tengah lautan. Wiroguno tertegun dan memberi hormat. Genduk Duku, Ntir-untir, Bolu dan rakyat menjadi saksi kejadian itu.

  1. Memahami Plot
Plot merupakan kekhasan dasariah suatu narasi (narrative; propter hoc). Menurut tipenya, novel “Roro Mendut” merupakan novel dengan tipe unified plot, dengan Roro Mendut sebagai tokoh utamanya. Langkah-langkah memahami plot dalam novel “Roro Mendut”:
1.      Eksposisi
Eksposisi merupakan sejumlah informasi awal yang mutlak diperlukan agar narasi dapat dipahami (setting, tokoh, pemahaman kunci)
·       Anak dari adik bungsu si nelayan tua, itulah dia. Kerap, bahkan terlalu sering untuk ibunya, ia datang dari desanya ke Telukcikal, hanya untuk ikut paman-tuanya naik perahu dan didekap dipermainkan ombak-ombak yang nakal. (6)
·       Mendut nama Den Roro. Artinya: serba lunak menggelombang, dasar yang kokoh. (21)
·       Gendhuk Duku… ibunya berasal dari Pulau Bima. Sejak kecil si Gendhuk Duku boleh dikatakan disusui, ditimang dan dibesarkan di atas kuda. (24)
·       Adipati Pragola tewas ditangan Wiroguno (35). Ni Semongko dan Gendhuk Duku mengiringi Roro Mendut yang bersama para putri bekas istana Pathi diboyong di atas tandu-tandu ataupun kereta-kereta kuda ke ibu kota negara yang tak terbantah memang sedang jaya-wijaya di atas kerajaan-kerajaan seluruh Jawadwipa. (36)
·       Wiroguno mempunyai banyak selir yang cantik; dan garwo-padminya, Nyai Ajeng tidak hanya bergelar Bendoro Ajeng atau Ayu, akan tetapi benar-benar ayu pula, wanita paling pandai di antara sekian istrinya. Barangkali Sariranendra lebih mendalam jiwanya, memang dia cantik anak seorang begawan yang pernah dijumpai Wiroguno dalam suatu perjalanan peperangannya ke Madiun…. Arumardi adalah seorang selir juga; yang berasal dari suatu desa di lereng Gunung Lawu, ternyata wanita muda yang cerdas, jujur lugu terutama. …. Bahkan si Arimbipun itu seorang wanita yang pernah ia peroleh sebagai hadiah dari seorang raja di sekitar Danau-besar Toba di pulau seberang,…berbadan besar kekar seperti raksasa perempuan istri Werkudoro, yang tingkah ulahnya masih serba persegi tanpa banyak basa-basi. (82)

2.      Momen yang menggugah
Momen yang menggugah terjadi pada saat konflik atau problem muncul untuk pertama kalinya dan membangkitkan minat si pembaca. Dalam novel “Roro Mendut” momen yang menggugah terjadi ketika Wiroguno yang menyerbu Kadipaten Pathi bertemu dengan Roro Mendut. Ketika itu Roro Mendut sedang berusaha untuk melarikan diri.
Lunglai kehabisan nafas serta tenaga akhirnya Mendut terjatuh, nyaris terinjak oleh kaki-kaki kuda yang lewat. Kura Panglima Tumenggung Wiroguno sendiri. Saat itulah pertemuan pertama antara panglima termasyhur Mataram dengan si Mendut. Kelas tidak cantik molek ketika itu keadaan sang dara lemas. Tumenggung Wiroguno pun ketika itu hanya menyangka dia perempuan kampung biasa yang sedang dikejar-kejar salah seorang prajuritnya yang berangasan. Tetapi ketika sida-sida istana itu dengan segala permohonan maaf melapor, bahwa yang tidak lengkap terbungkus kain serba robek itu adalah salah seorang selir musuhnya, maka kepada gadis yang serba bercitra liar itu beliau semakin menaruh perhatian. Baru sesudah Mendut berkecak pinggang, dada membusung tanpa takut, dan tanpa satu kata pun menyinarkan sorotan matanya yang penuh amarah dan ungkapan tantangan, tersenyumlah Wiroguno. “Hanyut nyawa siapa yang berani menjamahku!” begitulah ancaman sorotan mata harimau betina itu, yang juga langsung menikam mata panglima. (49)

3.      Komplikasi
Komplikasi merupakan saat berbagai usaha ditampilkan untuk menyelesaikan problem atau konflik yang ada. Dalam novel “Roro Mendut” ada beberapa komplikasi yang ditampilkan:

·      Komplikasi 1: Janji Wiroguno kepada Mendut tidak ditepati
           Ketika Roro Mendut sudah dibawa ke puri Wirogunan, ia diminta menari oleh Wiroguno.
           “Apa tidak ada tari gaya Utara? Wiroguno baru saja berbakti di Pathi, bukan?” Sebelum Nyai Ajeng menemukan jawaban, karena sekonyong-konyong pecah selaput nalarnya dan paham, suaminya sudah mengambil jalan pintas, “Tanyakan, apa gadis pantai itu dapat menari.”(118).

Roro Mendut mau menari asalkan syaratnya dipenuhi, yaitu
           “Sesudah puas melihat Mataram ini, saya minta dikembalikan lagi ke rumah ibu saya.” (121)

Wiroguno tidak memedulikannya dan tetap meminta Mendut menari.
            “Kurang ajar! Kurang ajar anak itu….. Pintar juga mengajukan syarat. Sudah, siapkan anak itu. Wiroguno ingin melihat kemahiran orang-orang pantai menari.” (122)

Pada malam Jumat Kliwon, ketika Nyai Ajeng sedang menjamasi pusaka, Mendut dipanggil masuk ke tempat pusaka. Nyai Ajeng hendak meluluhkan hati Mendut, namun Mendut justru berpikir ini saatnya menagih janji. Namun janji itu tidak dipenuhi:
            “Untuk memohon ingat, bahwa pada hamba telah diberikan janji, boleh pulang ke rumah ayah-ibu hamba.” (169)

Namun Nyai Ajeng menolaknya dengan berkata
            “Kau tidak berhak memerintah Panglima Besar Mataram.” “Yang berjanji kau boleh pulang itu Wiroguno, tahu! Tetapi yang menghendaki kau menjadi pendampingnya ialah penglima perang yang jaya atas kadipaten Pathi. Dan jangan khilaf: Ingkang Sinuhun Susuhunan pribadi!” (170)

·      Komplikasi 2: Roro Mendut harus membayar pajak tiga real sehari
Untuk meyakinkan kerajaan-kerajaan di Pantai Utara tentang keperkasaan Mataram, Susuhunan Hanyokrokusuma mengadakan Sodoran-Setonan (latihan perang pada hari Sabtu) yang dipimpin Panglima Wiroguno. Bagi Wiroguno, ini bukan hanya soal unjuk kekuatan Mataram, namun juga saat untuk unjuk kekuatan dirinya di hadapat Mendut. Namun waktu itu Mendut tidak datang.
Nyai Ajeng:
            “Maaf, Kanjeng, dia belum menyerah.”…. (186) Lagi sosok Panglima Wiroguno menyambar di muka para puteri di bawah beringin di tepi alun-alun, berputar dan mendadak berhenti di muka Nyai Ajeng. “Dia ikut menonton?” Nyai Ajeng tidak dapat menjawab dan berputar kepada rekan-rekannya. “Mendut di mana tadi?” Putri Arimbi langsung tanpa tedheng aling-aling memberi keterangan, “Tadi memancing dengan dayangnya.” …. Geram ia berkata kepada Nyai Ajeng, “Baik. Mendut boleh membangkang. Tetapi dia dulu warga negeri Pathi, yang memberontak melawan Mataram. Maka dia harus membayar pajak. Sampai dia bertekuk-lutut.” … (187) “Sudah! Tiga real bolehlah. Wiroguno bukan algojo. Katakanlah ini kepada si Medut itu.” Dan berputarlah Wiroguno, lari galop ke pergumulan perang-perangan, wilayah kegemarannya. (189)
Sedikit di luar kuthonegoro Karta ada danau kecil Dyah Anjani namanya, yang mendapat air dari udik Sungai Gajah-Wong. Di situlah, dengan pembayangan dua orang pengawal Wirogunan, Roro Mendut dan Gendhuk Duku menghibur diri berenang-renang dan main-main naik perahu. (191)

Roro Mendut kemudian mencari akal dan akan menjual rokok di pasar.
Wiroguno:
           “Sudah! Pokoknya bilang kepada Mendut: boleh! Diizinkan dia berjualan rokok. Tetapi pajak harus tetap dibayar.” (221)

·      Komplikasi 3: Pajak dinaikkan menjadi sepuluh real
Mendut dapat membayar pajak dari penjualan puntung rokok, tetapi Wiroguno menaikkan nilai pajaknya menjadi sepuluh real.       
           “Pelan-pelan ada pundi-pundi di maja disodorkan ke hidung Tumenggung. Terkejutlah Wiroguno. Ah, Nyai Ajeng. Begitu lembut seperti kucing, istrinya itu mendekat, dan begitu tertambat sang Tumenggung pada kalimat-kalimat bacaan Ngabehi Suwitoprojo, sehingga tak terdengar sama sekali Nyai Ajeng mendekat. Muka terenyum lelah bercampur setetes ejekan, berkatalah ia halus, “Kewajibanlah, Kakanda, yang membawa Nyai Ajeng kemari membawa pajak seperti yang telah Kakanda perintahkan.” “Pajak apa?” tanya Wiroguno agak gusar karena renungan tentang Resi Bismo melawan Srikandi tadi menjadi buyar. “Roro Mendut.” “Ah! Lagi si dia.” Nada suara Wiroguno menyayat hati Nyai Ajeng. Kasihan memang seorang panglima yang kalah. Apalagi kalah terhadap perempuan. Lemas jadinya seperti Bolodewo kehilangan gapitnya. Dia akan tenggelam atau mengamuk. Tetapi suaminya masih dapat mengekang perasaan. Perasaan? Tiada perasaan. Kehampaan. “Bagaimana selanjutnya, Kakanda?” “Sepuluh real sehari!” bentaknya.” (237-238)

4.      Turning Point/Klimaks
Klimaks atau turning point merupakan momen tertinggi yang dicapai oleh sang protagonis dalam perjalanan kariernya, saat situasi mencapai keadaan terbaik atau terburuk (titik nadirnya). Dalam novel “Roro Mendut” ini, Roro Mendut mencapai kemenangan besar terhadap Wiroguno ketika ia dapat mengumpulkan perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak dan keris meskipun pajaknya dinaikkan menjadi sepuluh real.
Namun sudah sejak hari ketiga wana ular antri sudah menjadi lain. Dari warna lusuh dan hitam kaum kampung rendah berganti ke warna batik dan sutera kaum menengah… (242)
Mendut sendiri dengan dayang-dayangnya di belakang tirai tanpa dapat beristirahat melayani nafsu para penghisap puntung. Atas nasehat Ni Semongko, asap tidak dihisap tetapi ditiup saja, sehingga Mendut tidak mabok asap tembakau. Yang penting kan ludahnya. Gendhuk Duku membantu mempersiapkan batangan-batangan rokok dan Ni Semongko sibuk terus menghitung uang yang masuk. Kadang-kadang ada seorang pegawai tinggi membayar jauh lebih banyak daripada harga sebenarnya. Bahkan perhiasan-perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak, keris-keris pun mengalir masuk dalam tangan-tangan gendhut Ni Semongko. (243-244)

Namun, saat itu ia juga merasakan kejatuhan dalam batinnya.
Namun, keberhasilan dari segi harta itu tidak dapat menghibur Mendut, yang seolah pingsan-sadar melayani semua pengagumnya, namun menangis dalam hati. Ke mana ini semua? Apakah akan begini terus? Teringatlah Mendut pada suatu pesan ayahnya:”Keberhasilan yang memuncak sering merupakan tanda-tanda awal suatu keruntuhan.” Mendut hanya dapat berdoa dalam lubuk hati. (244)

Wiroguno pun merasakan kekalahannya:
Bayangan-bayangan gelap pelan-pelan bergerak pada dinding-dinding emperan gandhok. Nyai Ajeng datang lagi. Bersila dan menyembah. Dalam cahaya pelita yang menari-nari redup, wajah sang istri perdana tampak cantik, jauh lebih bercahaya, karena kontrasnya dengan gelap sekelilingnya. Seolah-olah hanya wajah itulah yang berpentas dan menawarkan diri. Luwes isterinya bersembah, sesudah meletakkan suatu barang di atas tikar sampingnya. Ia membawa pundi-pundi penuh uang lagi. Wiroguno sudah tahu. Lesu dipandanginya istri yang menjadi kebanggaan Wirogunan. (288)
                          
Lebih tegas lagi, kemenangan ini ditampakkan dalam pengakuan Nyai Ajeng:
Pelan-pelan Nyai Ajeng mengangkat pundi-pundi Mendut, yang tidak hanya berisi real-real pajak, 10 mata uang emas, akan tetapi bahkan upeti penghormatan kepada sang Tumenggung. Harus diakui, Roro Mendut menang gemilang. Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi, dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri atau ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut toh semacam pahlawan juga. (295)

5.      Resolusi
Resolusi merupakan saat-saat penyelesaian konflik. Konflik antara Roro Mendut dan Wiroguno diakhiri dengan beberapa tahapan. Setidaknya ada tiga tahapan resolusi berikut ini:
·      Resolusi 1: Roro Mendut bertemu dengan Pronocitro
Ketika Roro Mendut berhasil menjual puntung rokok pada puncak perjalanannya, Pronocitro pun datang ke pasar tersebut. Di sana ia mencari tahu siapa penjual puntung rokok yang amat digemari itu. Dengan bantuan Ntir-untir dan Bolu, Pronocitro akhirnya tahu bahwa si penjual puntung rokok adalah Mendut, perawan pantai utara yang menjadi tambatan hatinya. Pengarang mengkisahkan pertemuan mereka berdua dengan menceritakan pergulatan dalam hati mereka.

Dan loloslah Pronocitro, yang menyusup tenang dan aman ke belakang kedai.
Siapakah engkau? Tanya dua pasang mata, terkejutlah bersama-sama. Aku pernah melihatmu! Aku pernah mengenalmu, kata yakin lubuk dua hati yang heran terharu. Siapakah yang mengutusmu kemari? Siapakah yang mendorongku melangkahi jarak begitu jauh, hanya untuk bersua denganmu? Ada saat-saat yang justru meniadakan waktu. Ada peristiwa yang justru meniadakan kejadian. Seolah-olah keabadian dan impian lalu saling berciuman dan segala-gala telah terpenuhi. ………. Tak mustahil, gadis yang menurut kata orang bernama Roro Mendut itu si gadis nelayan di dermaga, pukauan hati yang dahulu itu?...

Kau menderita, Lelaki muda, dengan wajahmu yang tenang di tampang, namun gemetar sinar dalam yang kutangkap dari manik-manik matamu. Ah sama denganku. Kau menderita. Tapi perawanku lebih menderita. Kau merdeka, aku tawanan. Kau dapat memilih kekasihmu. Aku setiap saat dapat diperkosa. Bersungguh-sungguh citra wajahmu. Siapa kau untukku? Kau bukan jenis Arjuno…………. Ataukah kau kesatuan Nakulo-Sadewo, setiawan yang tekun, tak ingin tenar sendirim tetapi yang tak pernah dapat lupa………. Siapa namamu? Ah, maukah kau menjadi Nakulo-ku? Ah,… kau lelah, beranjak ingin pergi? Takut barangkali? Atau bosan, memandang hina pada penjual puntung rokok yang nyaris pelacur ini? Jangan pergi, ah, Nakulo, jangan pergi… (257-259)

·      Resolusi 2: Pronocitro membawa lari Mendut tetapi ia menolak
Sehari sesudah bertemu dengan Roro Mendut, saat acara sabung ayam, Pronocitro membawa lari Roro Mendut. Ketika itu terjadi kerusuhan di pasar. Suasana pasar kacau balau dan Pronocitro membawa lari Roro Mendut, Genduk Duku dan Ni Semongko. Namun, Roro Mendut menolak karena ia teringat temannya, Putri Arumardi yang juga menderita di puri Wirogunan.

Kalangan pengantri kedai Mendut sudah mulai ribut yang menjurus gawat. Berteriaklah Mendut, “Mas Prono! Mas Prono!” Gendhuk menangis. Ni Semongko panik. Dalam kedai benar huru-hara terjadi, karena Mendut sudah lelah patah tidak mau menjual rokok lagi. Hatinya merintih,
“Pertarungan, apa maknanya …
Pergulatan, apa artinya….
Manusia tak mau kalah.
Manusia mencari kejayaan.
Kepada hidup manusia berkata: Sendiko! Sendiko! Sendiko! Mboten! Mboten! Mboten! Sendiko-mboten-sendiko-mboten-sendiko-mboten-sendikoooooo!”
Pronocitro gelisah dalam hati. Tanpa menunggu lagi hasil lomba sabungan ayam, ia lari ke kedai Mendut. Diikuti punakawannya yang setia, penjagaan di gang didobrak dan seperti angin ribut ketiga orang itu masuk ke dalam kedai Mendut. Mendut dan kawan-kawan terkejut, tetapi berlimpah gembira. Ketiga wanita itu langsung dilarikan ke cikar-cikar dagang Pronocitro. (318-319)

“Tawaranmu telah kubayangan berhari-hari, tetapi aku tidak berhak membebankan nasibku padamu. Jangan! Jangan, Mas!”
“Tekadku sudah bulat. Dan tanggungjawabku adalah kehormatanku.”
Mendut menagis lirih.
Barangkali aku belum siap. Ada seorang sahabat setia yang menderita seperti aku di dalam puri, yang tak mungkin kutinggalkan begitu saja.”
“Dayang-dayangmu?”
“Ya.”
“Semua mereka akan ikut kita.”
“Masih satu lagi …, Putri Arumardi, seorang selir muda, sahabat baruku.”
“Dia boleh ikut, kalau mau.”
“Perlu saya persiapkan dahulu.”
“Tetapi ah,… kita tak punya waktu. Bagaimana, sekarang saja?”
“Jangan, jangan Mas Prono.”
Hormat Pronocitro mencium kedua beah mata Mendut.
“Belum pernah aku berjumpa dengan jiwa semulia kau, Adikku…Adikku…oh, barangkali justru akulah yang harus kau selamatkan.”
“Tidak… tidak…, si Mendut-lah yang membutuhkan Pronocitro.” Dan dicium olehnya kedua mata Pronocitro.
“Ah, sekali saat, entah kapan, kita pasti saling bersua lagi.” (322-333)

·      Resolusi 3: Pronocitro dan Mendut melarikan diri
Pronocitro telah menjadi penjinak kuda keputrian di puri Wirogunan. Pada suatu malam, ia telah berniat untuk membawa lari Roro Mendut. Usahanya ini diketahui oleh Nyai Ajeng dan Wiroguno. Wiroguno ingin mengejar mereka berdua tetapi Nyai Ajeng membiarkannya lari.
Pronocitro melompat pagar dan masuk halaman keputrian. Berhati-hati ia mendekati gandhok. Dipanggilnya lirih kekasihnya yang pas mau masuk pintu. Ketika melihat Pronocitro, Mendut terbelalak matanya, telapak tangan di muka mulut, dan tergopoh langsung mematikan lampu……Prajurit tadi melapor kepada penatus, bahwa Pronocitro telah masuk. Penatus melapor kepada dayang-utama Nyai Ajeng. Dayang Nyai Ajeng melapor kepada Nyai Ajeng yang sudah terbaring di ranjang. Nyai Ajeng lekas berbusana sedikit, lalu menemui penatus Jogopuro yang masih menunggu di luar. Mereka berunding apa yang sebaiknya dikerjakan. Akhirnya Nyai Ajeng memutuskan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Pelan-pelan mereka, dengan disertai dayang-utama pergi ke bagian gandhok Mendut ……(360)

Saat kejadian itu, Nyai Ajeng membawa Wiroguno ke gandhok Mendut:
“Kakanda, daripada hanya membayangkan saja, mari kita tengok kekasih Kanjeng.”(362)………
Tak terasa mereka sampai di gerbang halaman keputrian. Penatus Jogopuro memberi hormat, bersembah dan melapor menurut instruksi, “Dia masih di dalam.”
Nyai Ajeng (sengaja keras-keras), “Siapa?”
“Pronocitro, Puanku.”
Jantung Wiroguno serasa berhenti.
“Pronocitro? Di dalam?”
Meledaklah sekarang segala kubah lahar yang selama ini tertumpuk. Sungguh dahsyat mengerikan bila gunung seperti Merapi meletus. Mengamuklah Wiroguno masuk ke halaman menuju gandhok Mendut. Digebraknya pintu. Ni Semongko dan Gendhuk Duku menjerit dan langsung spontan lari. Ruang tidur Mendut ternyata kosong.
Nyai Ajeng membisikkan perintah kepada Jogopuro, “Biarkan dua orang itu lari!”……..
Prajurit dan dayang-dayang berbondong lari ke kandang kuda. Keputrian menjadi sepi. Lekas-lekas Putri Arumardi masuk gandhoknya dan memberi tanda. Secepat badai, Pronocitro dan Roro Mendut yang oleh kewaspadaan Arumardi disembunyikan dalam gandhoknya berlari keluar, memanjat tangga yang tak kelihatan tersembunyi di balik  dedaunan pohon sawo kecik yang rindang, gesit meloncat di atas dinding puri. Di luar Ntir-untir dan Bolu sudah siap dengan tangga lain. Tanpa menghamburkan secuil detik Mendut diangkat di atas kuda yang telah siap, dan berlarilah kedua kekasih itu ke dalam kegelapan malam. Ntir-untir dan Bolu cepat-cepat naik kuda mereka masing-masing dan lari ke arah yang berlawanan. (364-365)

6.      Konklusi/Hasil akhir
Konklusi merupakan hasil akhir dari cerita. Hasil akhir dari novel “Roro Mendut” merupakan closed ending. Setelah melarikan diri, Roro Mendut dan Pronocitro akhirnya sampai di muara sungai Oya-Opak. Wiroguno akhirnya menemukan mereka dan menantang untuk berkelahi dengan Pronocitro. Mendut dan Pronocitro mati di tangan kekuasaan Wiroguno.
      Serangan kilat Wiroguno benar-benar menentukan. Pronocitro tergelimpang di muka Roro Mendut, walaupun masih sempat menikam Wiroguno, yang terampil mengelakkan serangan. Wiroguno mengamuk untuk keduakalinya dan penuh nafsu menikamkan kerisnya ke arah dada Pronocitro. Tetapi pada saat itu Mendut maju spontan bermaksud membela kekasihnya. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah di atas kekasihnya. Sebuah gelombang besar dari laut merenggut kedua kekasih yang bermandikan darah saling merangkul itu. Terbawalah langsung mereka ke muara. (369)


II.      Analisa Struktural Novel “Roro Mendut” versi Y.B. Mangunwijaya
Analisa struktural ditandai dengan pencarian makna melalui struktur-struktur imanen dan konstruksi model-model. Dalam hal ini, pembaca bertanya “Mengapa?” Analisa struktural tertarik pada berfungsinya teks itu sendiri, tanpa memikirkan kapan teks ditulis, pengarang maupun konteks penulisan. Dalam analisa struktural terdapat dua tahapan, yaitu sintaksis dan semantik.

A.       Tahap Sintaksis


 
 




 a.      Pembuktian/Tes Subyek
1.     Tes Kualifikasi
Dalam tes kualifikasi, tokoh dikualifikasi sebagai subyek yang mencari dianggap punya kompetensi yang diperlukan untuk misinya. Dalam hal ini Roro Mendut adalah subyek yang akan di tes. Berikut ini beberapa teks yang memuat kompetensinya dalam mencari “kebebasan”.
-          Di awal kisah, Siwo sudah kagum dengan Mendut (kompetensi: figur Srikandi)
Mungkin karena cantiknya, barangkali karena warisan pihak kakek, atau bisa saja karena si gadis berbakat Srikandi. Bukan khayalan ngawur memang, mengapa dalam pewayangan timbul figur Srikandi. Tetapi yang disebelahnya ini jelas Srikandi khas Bahari. (7)

-          Di puri Pathi (kompetensi: harimau betina/keberanian-kebebasan)
Penuh sayang seperti kepada anaknya sendiri, dayang Ni Semongko mengucapkan nasihat itu kepada gadis bawuk dari pantai yang dipercayakan kepadanya oleh Ni Sekar, dayang utama puri Pathi. “Harimau betina dia,” kata Ni Sekar kepadanya. “Dari ladang-ladang ilalang timur laut sana. Harus dijinakkan dulu dia, sebelum dihadapkan ke gandhok Adipati.” (21)

-          Ketika akhir pertempuran di puri Pathi (kompetensi: sadar akan ketidakbebasan)
Di tengah kepulan-kepulan asap bekas pertempuran dan huru-hara rampokan serba kacau balau kaum pengungsi, Mendut melihat segala peristiwa itu dengan hati yang merana tetapi terjaga dingin. Akhirnya sadarlah ia, bahwa tidak berbedalah sebetulnya, Pathi atau Mataram. Sama-sama kurungan merpati. (36)

-          Ketika bertemu dengan Wiroguno (kompetensi: keberanian melawan)
Lunglai kehabisan nafas serta tenaga akhirnya Mendut terjatuh, nyaris terinjak oleh kaki-kaki kuda yang lewat. Kura Panglima Tumenggung Wiroguno sendiri. Saat itulah pertemuan pertama antara panglima termasyhur Mataram dengan si Mendut. … Baru sesudah Mendut berkecak pinggang, dada membusung tanpa takut, dan tanpa satu kata pun menyinarkan sorotan matanya yang penuh amarah dan ungkapan tantangan, tersenyumlah Wiroguno. “Hanyut nyawa siapa yang berani menjamahku!” begitulah ancaman sorotan mata harimau betina itu, yang juga langsung menikam mata panglima. (49)

-          Kesadaran Ni Semongko (kompetensi: jiwa keningratan bahari)
Baru dalam malam-malam rimba sesudah semua huru-hara itu berlalu Ni Semongko-Wahyuni mulai tahu, bahwa itulah citra keindahan jiwa keningratan bahari, penakhluk-penakhluk gelombang samudra yang mendidih, sinar dari prono manusia yang tak gentar membela kebenaran. (51) “Mendut, anak angin taufan! Arah mana yang kaupilih? Kapal berlayar ganda mana yang kaucari? Mendut, anak kemerdekaan, apakah mungkin kau akan jinak di dalam tembok-tembok istana yang menantimu…” (52)

-          Keberanian Mendut untuk meminta syarat kepada Wiroguno (kompetensi: keberanian)
“Sesudah puas melihat Mataram ini, saya minta dikembalikan lagi ke rumah ibu saya”
“Siapa bilang aku calon isteri Wiroguno?” tangkis Mendut sungguh kurang ajar,… (121)

-          Tema tarian Mendut: Elang Merdeka dan Kuda Padang Bebas (kompetensi: ingin kebebasan)
Bagaikan elang menyambarlah Mendut masuk lingkaran pendopo dan menari dengan gelora gesit, membuat bengong para hadirin-hadirat. Tema tarian Mendut sangat jelas menggambarkan bergantian: Elang Merdeka dan Kuda Padang Bebas. (125)

-          Kata-kata Roro Mendut setelah janji Wiroguno diingkari (kompetensi: kesadaran bahwa hati tak dapat dirampas)
“Tubuh dirampas memang. Tetapi hati tidak.” Gendhuk Duku, yang menjatuhkan dirinya dalam pangkuan puannya, dibelai rambutnya. “Ndhuk, Gendhukku sayang. Sebentar lagi kau akan menjadi wanita cantik juga. Tidak mudah menjadi wanita cantik, Ndhuk. Tidak mudah. Apalagi di kalangan istana. Di sini kita menjadi barang hiburan mereka belaka. Di luar kita lebih mudah menjadi orang.” (173)

2.     Tes Pokok
Tes pokok ini membawa subyek ke penerimaan obyek. Dalam novel ini, Roro Mendut mencapai kemenangan besar terhadap Wiroguno ketika ia dapat mengumpulkan perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak dan keris meskipun pajaknya dinaikkan menjadi sepuluh real. Maka, saat itulah ia menunjukkan bahwa dirinya mampu mengatasi dominasi Wiroguno atas kebebasan dirinya.
Namun sudah sejak hari ketiga wana ular antri sudah menjadi lain. Dari warna lusuh dan hitam kaum kampung rendah berganti ke warna batik dan sutera kaum menengah… (242)
Mendut sendiri dengan dayang-dayangnya di belakang tirai tanpa dapat beristirahat melayani nafsu para penghisap puntung. Atas nasehat Ni Semongko, asap tidak dihisap tetapi ditiup saja, sehingga Mendut tidak mabok asap tembakau. Yang penting kan ludahnya. Gendhuk Duku membantu mempersiapkan batangan-batangan rokok dan Ni Semongko sibuk terus menghitung uang yang masuk. Kadang-kadang ada seorang pegawai tinggi membayar jauh lebih banyak daripada harga sebenarnya. Bahkan perhiasan-perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak, keris-keris pun mengalir masuk dalam tangan-tangan gendhut Ni Semongko. (243-244)

3.     Tes Pujian/Sanksi
Tes pujian/sanksi merupakan pengakuan sosial terhadap subyek atas keberhasilan/kegagalannya. Tes ini merupakan evaluasi atas performance subyek. Mendut berhasil mengalahkan kekuasaan laki-laki  yang mengekang kebebasannya. Hal ini diakui oleh Wiroguno dan Nyai Ajeng sendiri:
Bayangan-bayangan gelap pelan-pelan bergerak pada dinding-dinding emperan gandhok. Nyai Ajeng datang lagi. Bersila dan menyembah. Dalam cahaya pelita yang menari-nari redup, wajah sang istri perdana tampak cantik, jauh lebih bercahaya, karena kontrasnya dengan gelap sekelilingnya. Seolah-olah hanya wajah itulah yang berpentas dan menawarkan diri. Luwes isterinya bersembah, sesudah meletakkan suatu barang di atas tikar sampingnya. Ia membawa pundi-pundi penuh uang lagi. Wiroguno sudah tahu. Lesu dipandanginya istri yang menjadi kebanggaan Wirogunan. (288)

Pujian terhadap Mendut juga ditampakkan dalam pengakuan Nyai Ajeng:
Pelan-pelan Nyai Ajeng mengangkat pundi-pundi Mendut, yang tidak hanya berisi real-real pajak, 10 mata uang emas, akan tetapi bahkan upeti penghormatan kepada sang Tumenggung. Harus diakui, Roro Mendut menang gemilang. Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi, dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri atau ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut toh semacam pahlawan juga. (295)

Di akhir kisah, Wiroguno pun mengakui keberhasilan Mendut:
Wiroguno tertegun, dan dengan kerisnya di dahi, tunduk, perlahan-lahan duduk bersila di tanah dan terharu memberi hormat. (397)

b.      Obyek
Seperti nampak dalam diagram di atas, yang obyek adalah KEBEBASAN. Maka, dalam poros pencarian dapat dikatakan bahwa Roro Mendut mencari kebebasan. Hal ini nampak dengan keteguhan Mendut untuk menolak permintaan Wiroguno. Kekuasaan Wiroguno atas dirinya dapat ia atasi dan ia mendapatkan buktinya ketika banyak orang membeli puntung rokoknya dan ia dapat membayar pajak yang dibebankan kepadanya.
Akhirnya sadarlah ia, bahwa tidak berbedalah sebetulnya, Pathi atau Mataram. Sama-sama kurungan merpati. (36) “Tubuh dirampas memang. Tetapi hati tidak.” (173)
…perhiasan-perhiasan, gelang, anting-anting, gasper sabuk perak, keris-keris pun mengalir masuk dalam tangan-tangan gendhut Ni Semongko. (244)

c.       Anti Subyek
Wiroguno adalah pihak yang menentang kebebasan Mendut. Dengan kekuasaannya ia berusaha menguasai Mendut namun tidak berhasil.
Bagi Wiroguno, Sodoran-Setonan bukan Cuma pamer kekuatan kepada raja-raja lain, namun juga sarana menakhlukkan Roro Mendut:
Belum terhitung puluhan ribu rakyat yang memeriahkan Gladhi-Setonan. Di situlah Panglima Wiroguno jelas akan menjadi buah bibir dan … pastilah Roro Mendut akan berubah pikirannya. (182)

d.      Pengirim
Pengirim memotivasi tindakan atau yang menyebabkan sesuatu terjadi; pengirim tidak hanya menetapkan nilai yang dituju, tetapi juga menyampaikan kehendak kepada Subyek. Dalam upaya mencari obyek, Subyek mendapat dukungan dan dorongan dari pengirim. Dalam hal ini pengirim Roro Mendut kepada kebebasan adalah:
-          “jiwa keningratan bahari”
Baru dalam malam-malam rimba sesudah semua huru-hara itu berlalu Ni Semongko-Wahyuni mulai tahu, bahwa itulah citra keindahan jiwa keningratan bahari, penakhluk-penakhluk gelombang samudra yang mendidih, sinar dari prono manusia yang tak gentar membela kebenaran. (51) “Mendut, anak angin taufan! Arah mana yang kaupilih? Kapal berlayar ganda mana yang kaucari? Mendut, anak kemerdekaan, apakah mungkin kau akan jinak di dalam tembok-tembok istana yang menantimu…” (52)
-          Kecintaannya pada Pronocitro
Tiba-tiba Gendhuk duduk tegak dan memandang kepada puannya. “Kenapa sebetulnya Den Roro Mendut tidak mau dipersunting Tumenggung yang kuasa dan kaya?” ………”Apa karena Raden Kanjeng Tumenggung sudah tua?”…akhirnya ia berkata lirih, seolah masih membutuhkan pengujian lebih lanjut atas jawaban itu, “Ah, yang muda pun belum jaminan juga…” Gendhuk Duku penasaran, “Apa pernah ada pemuda yang…” “Pernah…” tegas langsung jawaban itu keluar. Disusul nafas yang panjang sekali ………. “Kenapa justru dia!” sekarang Ni Semongko tidak memukul bahkan ikut melompong sedikit juga, dua matanya bundar ingin menelan cerita. Tetapi Mendut diam…, pasangan matanya memandang nanap pada mata Gendhuk Duku. “Entahlah…, tapi saya senang padanya.” ………. Mendut pun tak dapat menyembunyikan matanya yang mengaca basah. (174-175)

e.      Penerima
Dalam analisa ini, poros komunikasi mengantarkan obyek kepada penerima. Dalam novel ini, obyek “kebebasan” diantarkan kepada:
·         Roro Mendut, sebagai pelaku utama
·         Gendhuk Duku, sebagai dayang Roro Mendut yang selalu dekat dengannya
·         Ni Semongko, sebagai dayang Roro Mendut
·         Putri Arumardi, sebagai sahabat karib Roro Mendut
Ketika mereka akan berpisah, yakni saat Pronocitro hendak membawa lari Roro Mendut, Putri Arumardi mengatakan demikian:
“Bahagia jiwaku dapat mengenal kau, Putri Pantai. Yang aku tak sampai, itu kauperoleh: memilih kekasih.”…. Lalu tegaklah kembali Mendut dan dalam-dalam penuh kesayangan, pandangan matanya membelai pandangan mata Arumardi. “Arumardi, mBak-Ayuku! Kau seayah derita, seibu sepi sunyi denganku. Derita dan dambaan hampa itu pun adalah malam yang memungkinkan embun kehidupan. Bila aku bahagia, yakinlah, itu hanya mungkin, berkat keikhlasan yang mengemban kesetiaan dari sekian wanita merana seperti kau.” (358)
·         Nyai Ajeng. Ketika Mendut dapat membayar pajak sepuluh real, ia pun merasakan bahwa Mendut adalah pahlawan juga.
Harus diakui, Roro Mendut menang gemilang. Kemenangan Roro Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi, dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku isteri atau ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut toh semacam pahlawan juga. (295)
·         Pronocitro. Kegigihan dan kesetiaan Roro Mendut untuk mempertahankan kebebasannya dicurahkan bagi Pronocitro, kekasihnya.

f.        Penolong
Penolong membantu Subyek untuk sampai pada obyek. Dalam hal ini mereka yang membantu Roro Mendut dalam mencari kebebasannya adalah:
·           Siwa
Siwa, seorang nelayan, ikut menanamkan jiwa keberanian, jiwa bahari di dalam hati Roro Mendut
·           Gendhuk Duku
Gendhuk Duku adalah dayang yang kemudian diaku adik oleh Roro Mendut. Ia selalu menemani dan membantu Roro Mendut dalam banyak hal, misalnya latihan naik kuda.
·           Pronocitro
Pronocitro, kekasih Mendut menolong Mendut dengan membawanya lari dari puri Wirogunan
·           Ni Semongko
Ni Semongko adalah dayang yang setia sejak di Pathi. Ia selalu menghibur dan menemani Mendut. Ia bagaikan ibu bagi Mendut dan Gendhuk Duku
·           Nyai Singobarong
Nyai Singobarong berjasa dalam memberikan izin kepada Pronocitro untuk pergi ke Mataram
·           Ntir-Untir, Bolu, Bedhul dan Bedhil
Mereka adalah abdi-abdi setia Pronocitro yang membantu pertemuan, pelarian dan penyelamatan diri mereka
·           mBah Dipo
Pedagang kacang rebus ini memberitahu Gendhuk Duku mengenai penginapan Pronocitro
·           Putri Arumardi
Ia adalah sahabat setia Roro Mendut di puri Wirogunan
·           Penjual wedang
Ia memberi tahu Pronocitro tentang siapa penjual puntung rokok di pasar
·           Penjual burung
Ia memberi tahu abdi-abdi Pronocitro tentang penjual puntung rokok di pasar
·           Pengemudi rakit
Ia membantu Roro Mendut dan Pronocitro menyeberangi sungai Oya-Opak
·           Para pembeli puntung rokok
Para pembeli puntung rokok ini banyak pihak, dari kelas rakyat jelata sampai para priyayi. Mereka membantu Mendut mendapatkan uang, dengan membeli puntung rokok Roro Mendut.
·           Nyai Ajeng
Awalnya dia menjadi penghalang, karena membantu Wiroguno dalam membujuk Mendut. Namun, kemudian ia menjadi penolong dengan membiarkan Roro Mendut dan Pronocitro melarikan diri.

g.      Penghalang
Penghalang merintangi jalan subyek dalam pencarian obyek. Dalam hal ini Roro Mendut mendapatkan rintangan dari beberapa pihak dalam mencari kebebasannya:
·         Nyai Ajeng
Ia membantu Wiroguno dan membujuk Roro Mendut
·         Prajurit Mataram
Ia memboyong dan menjaga keberadaan Roro Mendut di puri Wirogunan
·         Jogopuro dan pasukan Wirogunan
Jogopuro dan pasukan Wirogunan membantu Wiroguno dalam mencari Pronocitro dan Mendut
·         Susuhunan Hanyokrokusumo
Susuhunan Hanyokrokusumo, atau raja Mataram memberikan Roro Mendut kepada Wiroguno sebagai hadiah.
·         Dayangnya Nyai Ajeng
Ia mengawasi dan melaporkan pertemuan Roro Mendut dengan Pronocitro
·         Lurah Ranwe Gading dan Kebayan
Lurah dan Kebayan ini melaporkan keberadaan Roro Mendut dan Pronocitro yang melarikan diri di pantai selatan kepada pasukan Wiroguno
·         Suwitoprojo
Ia adalah wedono dalem Wiroguno dan sering memberi usulan tentang hukuman-hukuman yang diberikan kepada Roro Mendut
·         Adipati Pragola
Meski belum pernah bertemu dengan Roro Mendut, Adipati Pragola dari Pathi ini memanggil Roro Mendut ke puri Pathi yang akhirnya ditangkap oleh Wiroguno.

B.     Tahap Semantik
1.       Inventarisasi oposisi-oposisi
Dalam novel Roro Mendut, terdapat oposisi-oposisi sebagai berikut:
·         Laki-laki >< perempuan
·         Terbelenggu >< bebas
·         Hidup >< mati
·         Pedalaman >< pesisir
·         Penguasa >< bawahan
·         Kaya >< miskin
·         Bodoh >< cerdik
2.       Hirarki oposisi
Dilihat dari analisa struktural: subyek dan anti-subyek, serta obyeknya, payung utama dalam hirarki oposisi yang dominan adalah “laki-laki >< perempuan” dan “terbelenggu >< bebas”. Dua oposisi ini sebenarnya satu hal. Maksudnya, laki-laki adalah pihak yang membelenggu, perempuan pihak yang tidak bebas. Dalam novel tersebut pihak laki-laki yang membelenggu direpresentasikan oleh Wiroguno dan perempuan yang tidak bebas direpresentasikan oleh Roro Mendut. Dominasi laki-laki yang membelenggu ditampakkan dalam beberapa hal misalnya: perang, menjaga nama baik dan harga diri, perintah, kepangkatan, hirarki dalam rumah tangga dan sebagainya. Dominasi laki-laki ini membelenggu kebebasan perempuan dengan aturan-aturan, perintah, dan sebagainya. Sementara itu, perempuan selalu ada dalam pihak yang lemah. Perempuan dapat dimadu, dijadikan selir, dijadikan boyongan, diperintah, harus mengikuti aturan-aturan, harus bersikap halus baik dalam tindakan maupun kata-kata. Perempuan harus selalu tunduk pada aturan laki-laki. Untuk melakukan banyak hal, perempuan harus meminta izin dari laki-laki. Artinya, perempuan dapat melakukan tindakan-tindakan hanya dengan izin laki-laki.
3.       Kutub yang kuat
Dari novel terlihat bahwa kutub laki-laki yang membelenggu, Wiroguno, merupakan pihak yang kuat. Ia mempunyai kekuasaan, kekayaan, dan kewibawaan di antara rakyatnya. Kerajaan Mataram, mau tak mau kerajaan yang  patrialkal. Maka, laki-laki lebih diunggulkan dari pada perempuan. Perempuan menjadi pihak yang harus mengikuti norma-norma, tata kesusilaan dan kesopanan; ia adalah pihak yang harus selalu mendukung laki-laki, tidak boleh membantah atau menolak laki-laki. Perjuangan Roro Mendut mencari kebebasan adalah perjuangan melawan dominasi laki-laki. Akan tetapi, setinggi-tingginya ia dapat menggapai kebebasan, akhirnya ia mati di tangan laki-laki. Namun, kematian Roro Mendut adalah kematian kemenangan. Artinya, ia tidak pernah mengatakan menyerah pada kekuasaan Wiroguno. Ia tidak berpasrah pada dominasi Wiroguno sebagai yang berkuasa. Kematiannya adalah kematian membela kebebasannya, yakni membela cintanya yang sejati, cinta pilihan hatinya, Pronocitro.
4.       Transformasi dasariah yang dipertaruhkan
Transformasi dasariah yang dipertaruhkan dalam hal ini adalah kebebasan perempuan (Roro Mendut) dalam menentukan nasibnya sendiri. Kekuasaan laki-laki tidak dapat membelenggu kebebasan perempuan. 
5.       Penerapan dalam konteks aktual
Konflik antara dominasi laki-laki yang membelenggu melawan perempuan yang ingin bebas terjadi dalam banyak hal. Misalnya saja dalam konteks sosial-politik, perempuan yang menjadi anggota legislatif harus diberi kuota tertentu. Walaupun demikian, kuota itupun ditentukan oleh pihak laki-laki. Munculnya peraturan-peraturan yang ingin mengatur kesusilaan (Perda-perda dan UU Pornografi, misalnya) tak lain hanya mengatur perilaku perempuan agar dapat didominasi oleh laki-laki. Peraturan kesusilaan tak lain merupakan pengaturan atas seksualitas perempuan. Dalam konteks, keagamaan, kebanyakan pemimpin agama adalah laki-laki. Dalam Gereja Katolik misalnya ada peraturan mengenai imam harus laki-laki, misdinar harus laki-laki dan sebagainya.
Berbagai usaha dilakukan untuk berjuang melawan dominasi laki-laki ini. Namun, perjuangan ini hampir pasti selalu kalah, karena modal perempuan untuk berjuang tidaklah kuat. Misalnya saja perjuangan untuk mendapatkan kursi di parlemen, itu pun karena diberi/ditentukan oleh kaum laki-laki. Perjuangan untuk berperilaku bebas, bebas berekspresi melalui seni misalnya, juga sekarang diatur melalui peraturan-peraturan formal yang mendominasi perempuan.




III.  Analisa Novel “Roro Mendut” menurut Teori Paul Riceour
Dalam analisa Paul Ricoeur terdapat empat kategori hermeneutika, yaitu:
  1. Terpatrinya wacana dalam tulisan
Teks merupakan terpatrinya wacana dalam tulisan. Wacana mempunyai empat ciri: subyek yang mengatakan; kepada siapa ditujukan; wahana/dunia baru yang mau direpresentasikan dan temporalitas.
Teks novel “Roro Mendut” versi Y.B. Mangunwijaya adalah juga bentuk terpatrinya wacana dalam tulisan. Novel Roro Mendut ini merupakan Novel Sejarah. Teks ini berbeda dengan Roro Mendut versi Adjip Rosidi. Teks “Roro Mendut” merupakan bagian pertama dari trilogi Y.B. Mangunwijaya yang berbicara mengenai perempuan. Bagian kedua berjudul “Gendhuk Duku” dan ketiga berjudul “Lusi Lindri”. Novel Roro Mendut di cetak oleh Penerbit Gramedia, pada tahun 1983. Novel ini direproduksi lagi, bersama dengan “Gendhuk Duku” dan “Lusi Lindri” pada tahun 2008 ini.  Novel “Roro Mendut” telah terbit sebagai cerita bersambung dalam harian Kompas (1982) dan divisualisasikan dalam film pada tahun 1983.

  1. Obyektivasi melalui struktur
Obyektivasi melalui struktur merupakan sebuah sisi penjelasan (enklaren) dari teks. Salah satu bentuknya adalah analisa struktural seperti di atas. Dalam analisa itu ditemukan beberapa hal yang utama:
-          Subyek                                 : Roro Mendut
-          Anti-subyek                         : Wiroguno
-          Obyek                                   : Kebebasan
-          Pengirim                            : Jiwa keningratan bahari; kecintaan Roro Mendut pada Pronocitro
-          Penerima                            : Roro Mendut, Gendhuk Duku, Ni Semongko, Pronocitro, Putri Arumardi, Nyai Ajeng
-          Payung oposisi utama     : laki-laki yang membelenggu >< perempuan yang tidak bebas
  1. Pesan Utama
Pesan utama dalam novel adalah “Perjuangan melawan dominasi kekuasaan demi kebebasan”. Laki-laki adalah simbol kekuasaan, perempuan adalah simbol kaum tertindas/menderita. Perjuangan Roro Mendut dalam mencari kebebasannya adalah perjuangan melawan dominasi kekuasaan laki-laki, Wiroguno. Budaya patriarki sudah tertanam lama di dalam masyarakat dan sudah membentuk perilaku maupun hirarki nilai masyarakat. Dalam masyarakat ini, dominasi laki-laki terhadap perempuan sudah dianggap hal yang wajar dan semestinya. Perempuan melayani laki-laki adalah hala yang layak dan sepantasnya. Dengan kata lain, penindasa pada perempuan adalah hal yang sudah semestinya. Perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki adalah hal yang tabu dan tidak ada dalam hirarki nilai masyarakat patriarkal. Perlawanan Roro Mendut terhadap Wiroguno adalah perlawanan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, sebenarnya, Roro Mendut yang terbiasa hidup di pantai, bergelut dengan ombak dan kebebasan lautan lepas mempunyai keyakinan akan nilai secara lain. Baginya kebebasan perempuan adalah hak yang harus ia peroleh. Dominasi laki-laki terhadap perempuan harus dilawan. Perlawanan ini harus selalu disertai dengan keberanian dan kesetiaan. Meskipun akhirnya Roro Mendut mati, namun ia tetap menang dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi laki-laki. Selama hidupnya, Roro Mendut tidak pernah mengalah pada dominasi laki-laki, Wiroguno. Ia memperjuangkan kebebasan dan pilihannya sendiri.


  1. Apropriasi Diri
    1. Dekontruksi
Ilusi-ilusi atau pra-pemahaman yang harus didekontruksi:
-     Wanita sebagai makhluk yang cengeng, melankolis. Laki-laki sebagai makhluk gagah, bergengsi tinggi.
-     Wanita tidak dapat memegang kendali atas hidupnya, atau atas kekuasaan yang dapat ia peroleh.
-     Pemahaman atas sejumlah simbol: lautan, daratan, gunung, wanita, laki-laki.
o   Lautan sering dipahami sebagai keganasan, tidak beraturan
o   Daratan sering dipahami sebagai berbudaya, teratur.
o   Gunung dipahami sebagai kekuasaan, keilahian.
o   Wanita sering dipahami sebagai kesuburan, kelemah-lembutan
o   Laki-laki sering dipahami sebagai kekuatan, keperkasaan
-     Wanita yang cantik itu: sopan, halus, lemah lembut

    1. Kritik Ideologi
Kepentingan-kepentingan, motivasi dan tujuan penafsiran yang harus dibongkar:
-          Sebagai laki-laki, saya punya kepentingan untuk membela hirarki patrialkal
-          Sebagai orang Jawa, bagi saya wanita yang baik: halus, sopan, lembah manah (lemah lembut)
-          Keteraturan itu tanda-tanda orang berbudaya. Hidup di asramaselama 8 tahun membentuk pemahaman saya bahwa semakin orang teratur seakan-akan dia semakin dewasa, semakin berbudaya. Dan ketidakteraturan itu sebuah keburukan.
-          Stereotipe bahwa orang pantai utara itu orang tidak berbudaya/urakan/daerah preman. Ketika setahun yang lalu saya hidup di Semarang selama setahun, saya merasa diri lebih unggul karena saya orang Yogya. Orang Semarang sering berkata-kata kotor, mengumpat, nada keras dan sebagainya. Hal itu meyakinkan pemahaman saya mengenai stereotipe orang pantai utara yang kasar dan urakan dan penuh preman.
-          Simbol gunungan bagi orang Jawa: alam pedesaan/pedalaman itu lebih unggul, lebih makmur dari orang pantai. Gunungan digambari dengan berbagai hal yang ada di daratan. Semua menandakan keselarasan, keagungan dan keilahian. Hal itu menandakan dominasi pedalaman terhadap pantai (dalam novel: Mataram-Wiroguno terhadap Pathi-Mendut, laki-laki terhadap perempuan).
-          Pemahaman bahwa pemberontakan itu kejahatan. Dari pelajaran sejarah sejak SD ditanamkan bahwa pemberontakan adalah tindakan yang digambarkan sebagai kekejian dan ketidaksetiaan terhadap negara. Hal ini kemudian dibawa dalam berbagai bidang. Maka, pemberontakan Mendut juga dapat dipandanga sebagai kekejian, ketidak setiaan dan kejahatan.

    1. Analogi Permainan
Novel tersebut menganalogikan bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan dan pandangan-pandangan masyarakat tentang wanita. Dari sana kita dapat belajar bahwa meskipun dalam situasi yang terjepit dan sulit, perjuangan kaum wanita dalam mencari kebebasannya dari dominasi laki-laki harus terus diperjuangkan. Kemenangan dari perjuangan itu bukanlah dalam bentuk fisik, namun dalam keberanian untuk mendobrak dominasi itu sendiri, dan tidak mengikuti hirarki nilai yang diciptakan laki-laki dalam masyarakat. Perlawanan Roro Mendut adalah simbol perlawanan perempuan menolak tunduk pada dominasi laki-laki.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar